bipolarid.com – HUJAN baru saja berhenti. Meutia memandang ke luar jendela pada daun-daun angsana yang menghijau, melambai-lambai dihembus angin yang sesekali kencang, perlahan berhenti seusai menggoyangkan dahan-dahan, laksana alam sedang melambainya di senja itu. Namun pesona yang menghampar di depan matanya, hanya mengabur. Tanpa makna, untuk apa seharusnya ia menikmati yang tak berarti, pikirnya dalam guratan kegalauan yang amat dalam.
Ia beranggapan bahwa tak mungkin lagi merindukan Ali, kekasihnya. Ia takkan lagi bertemu di bawah pohon angsana di setiap sore, sebelum Meutia pergi mengaji ke Dayah Abi Saleh, sebelum laki-laki itu berangkat merantau. Kini, Laki-laki itu sudah lebih empat tahun tak kembali ke kampung. Kata orang-orang yang pernah bertemu dengannya di Kutaraja, sekarang ia telah berumah tangga di sana.
Lena adalah salah seorang yang pernah mengatakan langsung pada Meutia saat berkunjung ke rumahnya pada suatu hari.
“Tia, kamu jangan lagi berharap pada Ali, dia sudah kawin di sana. Penantianmu akan sia-sia jika hanya untuk menunggu laki-laki yang telah mengkhianatimu.”
“Tidak, Lena. Aku tetap menunggu kapan ia kembali. Karena aku ingin membuktikan kesetiaannya padaku.”
“Terlalu baik sekali hatimu. Jika kamu jadi aku, sudah kulupakan semua janji-janji manisnya dulu.”
Saat pertama kali ia mendengar perkataan orang, ia tak menggubrisnya. Bahkan, tak sedikit jua terpengaruhi hatinya untuk melupakan Ali. Namun ia yakin bahwa sang kekasih tak lagi setia dan mencintainya, setelah beberapa kali menghubungi telepon genggam Ali tidak aktif lagi.
Ia mendesah nafas panjang. Kadangkala keyakinan akan pengkhianatan itu bercampur keraguan yang menggurat dalam benaknya. Ia pasrah. Entah sejauh mana pula kepasrahan itu mampu dipertahankan.
Kini, tinggal menjalani hari-harinya penuh kecewa. Putus asa kadangkala kerap menggeluti dirinya. Andai ibunya mengizinkan, ia akan pergi ke Kutaraja menjumpai laki-laki itu, sekaligus membuktikan kebenaran atas perkataan orang.
Ia sudah terlalu mengucap janji pada laki-laki itu. Mereka dua insan sang pencinta yang telah larut dalam seuntai janji yang sulit untuk diingkari.
“Tia, aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau kelak menjadi istriku. Apakah kau setia menunggu kepulanganku?”
“Ya, aku juga mencintaimu. Apakah Abang meragukannya?”
“Bukan begitu maksudku, tapi aku ingin mendengar dari ucapanmu. Bahkan aku sangat yakin akan cinta yang kau beri padaku. Aku tak pernah meragukanmu. Untuk itulah aku ingin merantau, semua itu kulakukan untuk masa depan kita nanti.”
Itulah percakapan terakhir kedua remaja itu pada suatu senja sehabis hujan, menjelang kepergian sang kekasih. Meutia masih mengukirnya dengan pahatan yang dalam di dada akan percakapan mereka pada saat itu. Ya! Ia takkan pernah mendustai dan mengkhianati segala yang pernah terukir indah itu.
Mungkin lagi, ia sangat tak berharga, malu pada diri sendiri, bila tak mampu menepati janji pada seorang kekasih. Ia berpikir, di manakah ketegarannya menghadapi segala rintangan cinta? Bagaimanakah jika dibandingkan dengan sosok Cut Meutia sang pahlawan perempuan Aceh yang pernah berjanji untuk mengusir penjajah dari tanah Endatu-nya? Bahkan telah mengantar perempuan perkasa itu bertualang ke belahan rimba raya gunung bukit barisan demi anak-cucunya kelak, kini telah dirasakan oleh anak negeri ini karena derasnya darah dan peluh yang mengalir dari tubuhnya yang gagah.
Lalu Meutia, akankah menyerah pada segala perkataan orang, yang mencoba tenggelamkan perasaan cintanya yang telah terpaku kuat? Entahlah, ia dibingungkan oleh perasaannya yang begitu masyghul itu.
***
Meutia sudah lama berdiri di depan jendela. Bulan mulai muncul dari balik awan di langit malam yang basah. Kemudian ia menutup jendela, saat sebuah suara tua ibunya memanggilnya dari dapur yang sedang menanak nasi.
“Tia, sedang apa? turunlah kemari. Ibu mau ambil air sembahyang.”
Meutia menutup jendela. Kemudian ia pergi ke dapur menemui ibunya.
“Temani ibu ke sumur, ya?
Ia mengangguk. Tak mengucap sepatah kata pun lagi. Sang ibu tersenyum melihat perubahan pada anak gadisnya selama beberapa hari ini. Mungkin senyum untuk sekadar meriangkan diri. Namun hati kecilnya mulai gelisah. Ia tak ingin anak semata wayangnya bersedih, gelisah tanpa diketahui muasalnya. Sebab ia tak memiliki sesiapa lagi selain Meutia yang kini sudah berumur delapan belas tahun. Anak pertama; abang Meutia dan suaminya telah meninggal pada masa operasi militer di Aceh delapan tahun silam. Sehingga, bagaimanapun, Meutialah penghibur hatinya yang sedang mendera dilema yang panjang.
Kecantikan wajah anak gadis itu menimbulkan rasa kebanggaannya. Bahkan selalu dimanja, sering pula ia menyisir rambut Meutia, meminyakinya, dan melarang rambut anaknya dipangkas pendek.
“Kita kaum perempuan, harus beda dengan laki-laki. Ibu sangat suka rambutmu yang panjang,” katanya suatu kali pada Meutia.
Namun, bila kini tampak kegundahan pada anaknya, sang ibu merasakan beban pikiran yang amat berat. Entah apa yang sedang terpikirkan jika sesuatu menumpuk dalam pikirannya. Sang ibu telah begitu menyayangi Meutia dengan segala cintanya yang tak terbatasi. Ia akan memberi segala yang dimiliki, jika memang anak gadisnya menuntut darinya. Namun, bila kini apa yang sedang dialami Meutia, tak mungkin ibu itu menunaikannya. Sebab kerinduan gadis itu pada kekasihnya, tak mungkin tertunai oleh sang ibu.
Seusai sembahyang Isya’, ibu menemui Meutia yang sedang berbaring di kamarnya.
“Tia, kamu kenapa menangis. Ayo bangun, katakanlah pada ibu!”
Wajah Meutia merah padam. Sisa bulir airmata masih membekas di pipi mungilnya. Suara ibu yang sedang memanggilnya, tak membuatnya tergerak untuk bangkit dan membalikkan wajahnya yang telungkup pada bantal yang basah dengan airmata.
“Kamu sakit?” lanjut perempuan itu. Lalu Meutia membalikkan wajahnya, menghadapkan pada perempuan yang amat mencintainya itu.
“Tidak, Bu, Tia cuma pusing, mungkin masuk angin!”
“Tapi, kenapa kamu menangis?”
“Ah, tidak, Bu!”
Ibunya paham akan sikap anaknya. Ia sangat mengerti terhadap perubahan sikap seseorang yang telah dilahirkan dan dibesarkan dengan kasih sayangnya itu. Ia juga tak ingin memaksa. Namun setahunya, Meutia tak pernah ada masalah, apa lagi sepelik itu. Meutia bukanlah seperti gadis lain yang banyak pergaulan di luar rumah. Setelah pulang mengaji pada malam hari, ia langsung pulang ke rumah, yang biasanya sang ibu menjemputnya di Dayah Abi Saleh yang tak seberapa jauh dari rumahnya.
Ibunya pun tak pernah mengetahui hubungan cinta dengan Ali. Yang ia ketahui, Ali adalah teman sekolah dan pengajian Meutia dahulu sebelum laki-laki itu merantau. Ibunya tak pernah mengetahui bahwa mereka sering berjumpa di bawah pohon angsana sebelum berangkat ke Dayah. Orang lain pun, hanya teman dekat merekalah yang pernah mengetahui perihal itu.
Ibu pun bingung sendiri. Lalu ia mendekap anak gadisnya dengan erat. Membelai rambutnya yang terurai panjang. Mencium keningnya. Diam-diam, mata perempuan itu berlinangan. Setetes air bening itu jatuh ke pipi Meutia. Ia menatap wajahnya yang redup itu. Usia ibunya yang keenam puluh tahun saat itu, menggurat kulit wajahnya yang berkerut. Namun penderitaan belum jua sirna, setelah bertahun-tahun datang dalam kehidupan perempuan itu. Meutia tak ingin lagi menggundahi perasaan sang perempuan yang telah melahirkannya. Seluruh kekuatan batinnya ia kerahkan agar mampu terima segala perihal yang sedang ia alami, tak mungkin membebani ibunya itu larut dalam duka karena kegelisahan anaknya. Meutia pun membiarkan dirinya terlelap dalam buaian dan dekapan sang ibu.
***
“Kak, Bang Ali sudah pulang!” kata Ulfa, gadis kecil usia sebelas tahun adik sepupu Ali, pada Meutia, setelah shalat maghrib di musalla dayah Abi Saleh.
“Apa, Bang Ali sudah pulang?” tanya Meutia lagi pada gadis itu untuk meyakinkannya.
“Iya, Kak!”
“Kapan dia pulang?”
“Tadi siang! Tapi dia sekarang sakit keras. Semua orang yang datang menjenguknya, tak seorang pun dia kenal. Sepertinya, dia kurang ingatan, Kak!”
Meutia tersentak kaget. Pikirannya galau, tak mampu terkendali. Ada rasa kecamuk dalam dadanya.
“Kakak kenapa melamun?” tanya Ulfa, melihat perubahan roman wajah Meutia, seolah menyimpan sesuatu yang amat memilukan.
“Ah, tidak! jawabnya pelan.
“Tia, kemari sebentar!” seru Salma dari luar musalla. Kemudian Meutia mendekati seorang gadis yang memanggilnya.
“Ada apa, Salma? Kelihatannya kamu terburu-buru sekali.”
“Begini, Tia, sekarang kamu harus ikut dengan saya ke rumah Bang Ali!”
“Kenapa saya harus ke sana?”
“Kamu harus tahu, Tia! Bang Ali seringkali menyebut namamu. Dia selalu memanggilmu. Setiap gadis yang menjenguknya, dianggap kamu. Bang Ali hanya mengenal kamu, Tia! saya yang sepupunya saja tidak ia kenal. Pada hal saya sudah dari kecil tinggal bersama orangtuanya, bahkan dia sudah saya anggap sebagai saudara kandung saya sendiri.”
“Sebenarnya Bang Ali itu sakit apa, Salma?”
“Entahlah, Tia! Kalau menurut Teungku Dadeh, Bang Ali diganggu iblis penghuni rimba. Sebab setiap kali dirajah, ia selalu kerasukan, mengeluarkan suara-suara aneh, dan perkataannya saat itu tidak bisa dimengerti sama sekali. Mungkin saja benar, karena dua terakhir ini dia bekerja di pembangunan jalan aspal, yang kata kawannya, jalan itu terletak di tengah-tengah hutan. Apa lagi mereka membangun kemah di sana. Juga kata kawannya, suatu siang Bang Ali pernah tertidur di bawah pohon beringin besar yang agak jauh dari tempat kerja mereka. Dua hari kemudian badannya mulai demam. Toke tempat ia bekerja sudah membawanya ke rumah sakit, tapi dia tak kunjung jua sembuh. Maka kemudian diantar pulang ke kampung.”
Meutia merasakan hawa tubuhnya yang berpeluh dingin. Urat-urat sarafnya tegang.
“Saya dengar dia sudah berumahtangga, apa benar, Salma?”
“Siapa yang berkata seperti itu? sela Salma, “Tidak mungkin Tia. Saya pun dulu pernah mendengarnya. Itu hanya kabar burung untuk mengecohkanmu saja!”
Ucapan Salma yang terakhir ini membuat dada gadis itu bergemuruh, panik, dan malu. “Memangnya kenapa bersebab kepada saya?”
“Jujurlah Tia. Kalian kan menjalin hubungan. Jadi, tak usah kamu sembunyikan. Karena sudah dari dulu Bang Ali mengatakan kepada kami. Dulu kami pernah ingin melamarmu dan memberi cincin tunangan. Tapi Bang Ali mengatakan nanti saja kalau dia sudah pulang.”
“Ayo, kita harus cepat ke sana. Kita lama sekali mengobrol di sini!”
“Tapi, saya minta izin dulu sama Abi dan ibu.”
“Tidak usah lagi. Tadi sudah saya beritahu kepada Abi bahwa kamu saya jemput sebentar. Ibumu pun sudah saya beritahu, bahkan sekarang dia sudah ke rumah Bang Ali. Saya disuruh jemput kamu di sini.”
“Baik!” jawabnya pelan.
Kedua gadis itu meninggalkan Dayah Abi Saleh. Beberapa lama kemudian mereka sudah sampai di rumah Ali.
Dari luar rumah, Meutia mendengar jeritan seorang laki-laki. Ia amat yakin bahwa itu jeritan Ali. Ketika ia masuk, matanya tertumpu kea rah tubuh yang kurus kerempeng, seolah mayat yang terbujur kaku. Di samping si sakit itu, duduk seorang lelaki tua, mulutnya berkomat-kamit. Bau kemenyan menyengat hidung. Membuat bulu-bulu kuduk merinding, serupa ritual mistik sedang digelar di rumah itu.
Ruang tengah rumah itu dipenuhi para penjenguk. Kepala mereka menunduk terpaku. Sunyi senyap. Tak terdengar suara-suara, selain bacaan-bacaan matra sang lelaki dan isak tangis seorang perempuan paruh baya. Wajahnya bertanda begitu duka cita.
Meutia duduk di samping ibunya yang sudah datang dari tadi. Sang ibu menatap wajahnya yang memerah, matanya berkaca-kaca. Kini Meutia benar-benar tak berdaya. Seluruh jiwanya menyelimuti risau, gelisah, dan entah apa lagi, yang tak mungkin dirasakan oleh orang lain.
“Meu…Meutia?” terdengar suara Ali memanggilnya. Namun Meutia masih tetap mematung. Hanya matanya yang mampu ia gerakkan ke arah laki-laki itu.
“Meutiaaaa?” seru laki-laki itu melengking seolah mampu membelah atap. Tangannya melambai. Kemudian ia bangkit, namun kembali terjatuh, lunglai tak sadarkan diri.
Seorang perempuan paruh baya bangkit dari tempat duduknya, mendekati Meutia. “Meutia, begitulah keadaan Ali sejak sampai di rumah siang tadi. Kamu dengar kan Meutia bahwa dia menyebut-nyebut namamu? Saya harap kamu memahaminya. Dan saya mohon Nak, kamu masih mau menerimanya sebagai pasangan hidupmu kelak.”
Meutia hanya diam. Ia memandangi ibunya yang juga sama terpananya. Sebab selama ini sang ibu tak pernah mengetahui hubungannya dengan Ali. Dia tidak tahu sama sekali bahwa mereka pernah berjanji untuk saling menanti menuju ke pernikahan.
Malam itu, lama sekali Ali tak sadarkan diri. Hingga kemudian Meutia dan ibunya pamit pada ibu Ali, yang tak henti-hentinya menangis tersedu.
“Ummi! Insya Allah, nanti jika Ali sudah sehat, masalah ini akan kita bicarakan lagi. Tapi semua ini terserah Nak Tia, saya tidak ingin dia merasa terpaksa,” ujar ibu Ali saat mengantarkan mereka sampai di pintu pagar rumahnya.
“Insya Allah!” sahut ibu Meutia pelan.
***
Senja itu, sehabis hujan deras mengguyur lebat. Dua orang laki-laki datang ke rumah Meutia. Salah seorang di antaranya Ali. Seorang lagi Yahwa Bransah. Inilah pertama kali Ali datang ke rumah Meutia, setelah bertahun-tahun merantau. Wajahnya masih pucat, hanya tubuhnyalah yang menandakan dia sudah sehat. Dia tak sekurus masa sakitnya.
Kedua lelaki itu telah ditunggu sebagai tamu teristimewa pada senja itu. Meutia demikian harunya, perasaannya begitu terbinar. Seulas senyum yang dulu amat getir di bibir gadis itu, kini tersungging indah. Terlebih setelah ia mendengar perkataan Yahwa Bransah, sebagai Seulangke, bahwa di awal bulan depan mereka akan menikah.
Pada senja itu, setelah bertahun-tahun di bawah keraguan menanti, mereka kini dapat berharap bahwa segala ihwal yang mendera itu telah sirna. Ada deguban kecil yang terbesit dalam dada kedua sang kekasih itu. Adalah serupa bening embun yang turun menghinggap malam, pada senja sehabis hujan itu. Sebab mereka telah menemukan seberkas cahaya yang bersinar dalam kehidupan kelak.
Penulis: Mahdi Idris