Senja di Kali Wiso

bipolarid.com – Siang beranjak sore. Pelataran Jepara Shooping Centre mulai ramai. Di penuhi PKL yang menggelar dagangannya di sana.

Dulu kami menggelar dagangan di alun-alun kota  Jepara. Tapi semenjak Pemda menetapkan  alun-alun sebagai area tertutup untuk PKL, kami menurut pindah. Toh kami sudah disediakan tempat yang layak di pelataran JSC yang luas, strategis pula tempatnya. Tak jauh dari alun-alun. Dekat jalan raya. Dekat pula  Kali Wiso.

Kali lebar yang membelah kota Jepara. Kali  yang dulu  kotor, keadaannya.  Kali Wiso  kini telah bersih. Apalagi di sepanjang kali dibikin taman. Setiap sore banyak warga  Jepara yang menikmati sore dengan memancing ikan di  Kali Wiso,atau sekedar duduk di bok sepanjang Kali-sambil menikmati jajanan  yang  beraneka jenis di area  PKL. Mulai dari jagung bakar, siomai, sampai minuman khas Jepara: Gempol plered  dan adon-adon coro!

Satu jam yang lalu, Bang Jaim-tukang becak  langganan kami,  telah mendirikan tenda dan  mendorong gerobak ke pelataran Warung Tenda JCS. Di sanalah  kami mangkal  untuk  berjualan  Gempol Plered dan Adon-adon Coro

Aku segera membantu Bude. Menggelar tikar. Lalu menata makanan  kecil, mulai   dari bakwan, mendoan….sampai pisang goreng. Untuk teman makan Gempo  Plered dan Adon-adon Coro.

Baru selesai kami menata dagangan, pembeli sudah berdatangan. Pakde segera  melayani. Aku membantu mengantarkan pesanan. Sambil mereka menikmati hidangan aku  ke belakang, mencuci perkakas kotor. Aku sedang mengelap gelas…ketika sepasang remaja putri itu selesai menikmati hidangan.

“Sudah selesai Mbak…”

“Makannya apa saja, Mbak?”

“Es gempol dua, mendoan tiga,  kacang asin dua….”

Aku menjemput sejumlah uang yang harus dibayar. Pembeli  membayar  dengan uang besar. Pakde menyusuki…mengembalikan pecahan uang  pembeli.

Senja menebar, pembeli datang silih berganti.

Aku sedang mencuci mangkok, ketika aku bagai  melihat bayang Bimo di pelataran mangkok itu. Gila! Aku tiba-tiba teringat memori bersamanya

“Kerja apa melamun, Tik?”

“Eh…Bude.”

“Kamu ngelamunin apa sih Tik?”

“Nggak melamun kok Bude…”

“Ya sudah.Ini ada gelas kotor, Tik. Cepat ya kalau sduah selesai bawa ke depan. Kamu menemani Bude melayani. Banyak pembeli.”

Aku mengangguk. Membenamkan bayang   Bimo ke dasar air sabun di dalam  ember tempat aku mencuci mangkok dan gelas kotor

*****************

 

Pembeli datang dan pergi, seiring waktu. Kini  di depanku muncul sepasang muda-mudi berangkulan mesra memasuki warung tenda. Memesan gempol plered dan adon-adon coro. Sejoli itu menikmati makanan sambil menebar  kemesraan. Sekilas memandang wajah si cowok yang simpatik…aku tiba-tiba teringat Bimo. Bimo yang tak berwajah tampan…atau ganteng. Bimo  yang simpatik, membuat aku tak bosan memandang raut wajahnya. Sosok yang tegap, khas  lelaki.

Bimo yang  dulu sering   mampir ke warung tenda  ini. Membeli segelas gempol  plered. Bimo yang suka tersenyum padaku, menegurku,  lalu  menggodaku.  Aku merasa  ada sesuatu  yang hilang, bila sehari Bimo tak datang di warung tenda Pakdeku.

Aku merasa bahagia bila melihat Bimo. Aku merasa suka bila Bimo ada di sisiku.

Aku sedang sibuk mengupas kelapa untuk diambil santannya, ketika Pakde mengabari ada tamu mencariku.

“Siapa… Pakde?”

“Bimo!”

“Cowok ganteng suka beli gempol plered. …” Bude tersenyum, menggoda. Entah apa maksudnya. “Temui sana. Biar Bude  yang memeras kelapa…”

Aku menurut. Aku merapikan bajuku. Rambutku kusisir. Hatiku tiba-tiba terasa berdebar. Kulihat Bimo berdiri di teras rumah kontrakan Pakde!

“Asaalamu’alaikum….”

“Wallaiumsalaam.”

“Darimana, Bim?”

“Rumah aja.”

“Kok  tahu…rumahku di sini?”

“Aku menguntitmu ketika kamu pulang.”

Aku merasa resah. Sejauh ini…Bimo ingin mengetahui keberadaanku? Tentu ada sesuatu dibalik  kedatangannya ini?

“Ada perlu apa kamu ke sini, Bim?”

“Main aja.”

“Mmm..kamu gak kerja?”

“Inikan hari Jum’at. Aku libur!”

Oya? Aku tersenyum….aku teringat kalau Bimo kerja nukang. Sebagai tukang kayu. Setiap seminggu sekali,  hari Kamis  bayaran. Jum’at libur. Karena bos Bimo seorang muslim. Hari Jumat bukan hari untuk bekerja. Hari Jum.at untuk  beribadah.

Lama  kami malah  terdiam.Hanya saling memandang. Entah  mengapa..aku bingung…harus ngobrol apa. Kulihat Bimo juga begitu. Padahal..aku selalu mengangankan, duduk  berdua, ngobrol bercanda bersama Bimi. Bahagia. Tapi ketika kenyataan dan kesempatan   berdua ada…mengapa aku seperti orang tolol dan gagu?

Tanpa tersadar aku menghela nafas. Aku memandang. Bimo. Pas Bimo memandangku. Kami sama-sama tersipu.

“Aku pulang, ya, Tik.”

“Pulang…?”

“Entar sore aku datang ke  warungmu…”

Aku hanya dapat  mengangguk. Bimo pamit pada Pakde dan Bude. Bimo pulang. Melambai. Punggung Bimo hilang bersama deruman motornya!

***************

love

Suatu senja Bimo datang ke warung tenda.  Bimo memasan  gempol  plered. Aku  melayaninya. Karena pembei  belum ramai, aku  duduk di sisi Bimo. Bimo menikmati gempol plered sampai   tandas.

Bimo menyorongkan mangkok kosongnya. Matanya menunjuk pada sehelai kertas di dalam mangkok putih itu. Spontan aku membaca sebuah tulisan  tangan yang rapai.

Tulisan Bimo? Ternyata sebaris puisi romantis…

Gerimis bayangmu menebar di hati

Hujan kerinduan ketika sedetik tak sua

Mengenang seraut paras manismu

Titik Normawati….

I love you….

Aku tersipu. Bimo mentapku syahdu. Aku akhirnya mengangguk malu-malu!

Aku menerima cinta Bimo. Hari-hari cinta kami lalui berdua.

Beberapa malam Minggu Bimo apel ke rumah. Pakde dan Bude menerima  kedatangannya dengan  tangan terbuaka. Karena  Bimo lelaki yang baik. Ramah dan sopan. Tapi Pakde dan Bude belum mengijinkan ketika Bimo mengajakku  keluar. Jalan-jalan hanya berdua.

“Kau tanggungjawab kami, Titik. Sejak kecil kami merawatmu. Kami menyayangimu.”

“Bimo juga menyayangimu  Titik.”

“Pakde bukan melarangmu bepegian bersama Bimo. Tapi lelaki  dan perempuan yang bukan muhrim pergi bedua, bukan hal yang baik dalam agama kita.”

“Tik mengerti, Pakde.”

Aku menurut. Bagiku: Pakde dan Bude adalah orangtua kandungku. Pengganti ayah dan ibuku yang telah tiada sejak aku kecil .Mereka pergi untuk selamanya ketika banjir bandang melanda  desa  kami.

********

 

Kebetulan hari ini Pakde tidak berjualan.Pakde agak kurang enak  badan. Pakde beristirahat di rumah. Bude mengajakku belanja ke Swalayan.

“Beli obat untuk Pakdemu, sekalian jalan-jalan Tik. Sudah lama kan kamu tidak bepergian..?”

Aku mengangguk.

Kami naik becak. Becak melaju menuju Swalayan yang berada di pusat kota Jepara.

Kami asyik berbelanja. Aku sedang memilih  buah apel – untuk Pakde-ketika sepasang lelaki istri  muda   melintas di depanku. Pasangan muda bahagia  dengan baby diantara mereka. Wanita muda cantik, dan seorang lelaki simpatik! Lelaki simpatik itu…Bimo!

Aku merasa lemas. Ingin pingsan.  Bude yang melihat Bimo memberiku kekuatan. Beriringan kami pulang. Tak meneruskan belanja.

********

broken heart

Kenyataan yang sangat menyakitkan….Bimo telah berkeluarga! Bimo  telah beristri.Bimo telah memilik anak. Semula aku  tak  mempercayainya. Aku berharap apa yang kulihat di Swalayan itu…hanya mimpi. Aku berharap….kalaupun   yang kulihat memang Bimo..tapi wanita itu  adalah adik iparnya, atau adiknya,  atau  teman Bimo! Bukan istri Bimo!

Tapi cerita  Ardi, teman Bimo….menguatkan kalau kenyataan pahit memang telah menorah di kehidupanku.

“Ada yang ingin aku ceritakan padamu,  Titik. Tentang Bimo. Sudah lama aku ingin  mengatakan hal ini padamu. Tapi kutakut kau tak percaya. Aku tak ingin Bimo selamanya membohongimu.”

“Apa maksudmu?”

“Ketahuilah Bimo telah menikah. Setahun yang lalu. Mereka telah memilik seorang anak…”

Hatiku terasa sakit. Ketika Bimo  tak mau mengakui belangnya di depanku.

“Maafkan aku,  Tik.”

“Apa maksudmu  sebenarnya, Bim?”

“Aku tak bermaksud membohongimu, Tik. Aku menunggu waktu yang  tepat…”

“Bohong! Kau mau menjebakku!”

“Aku mencintaimu, Tik.”

“Bohong. “

“Percayalah,Tik.Aku memang telah menikah. Tapi aku tak mencintai istriku.  Aku menikah tanpa cinta. Aku terpaksa menikah karena…”

“Pergilah, Bim. Jangan ganggu aku.”

“Tapi aku mencintaimu,  Tik.”

“Kalaupun kau mencintaku, tapi aku tak mencintaimu lagi, Bim. Aku benci cinta  yang dibaluri  dusta. Pergilah, Bim. Jangan ganggu aku…!”

Walau pun dengan hati terluka, aku rela melepas cinta pertama. Biar Bimo kembali pada wanita yang  telah  resmi menjadi miliknya. Aku wanita yang berperasaan.Aku tak mungkin merusak kebahagian sebuah  keluarga bahagia. Apapun alasan Bimo. Tak seharusnya  aku mempercayainya. Kalaupun Bimo benar menikah karena terpaksa…dan tak mencintai istrinya, ini bukan urusanku!

Selamat tinggal cinta pertama. Semoga aku tabah menjalaninya…

******

 

Selembar ketas berisi  baris puisi cinta yang pernah diberikan Bimo padaku, sekian kalinya kembali kubaca.  Setiap kali membaca goresan puitis itu aku selalu teringat Bimo!

Tak seharusnya  aku  selalu membaca puisi cinta itu!.

Aku akan membakar kertas ini.  Aku ingin membakar semua kenanganku bersama Bimo!

Selembar kertas itu terjatuh, sepasang  tangan kokoh mengambilnya. Mengangsurkannya padaku. Tapi niat itu urung. Sepasang mata elang itu menatap barisan puisi..

Aku memandang Ardi..

“Maaf itu milikku..dari Bimo!”

“Kamu  menyukainya…?”  Ardi  menatapku. Seperti ada rahasia.

Aku mengangguk.Aku menunggu selembar kertas bersejarah itu diberikan padaku.

“Kalau  kau  menyukainya…aku akan menulis puisi  untukmu.”

“Kau bisa menulis puisi…?’

“Puisi ini aku tulis untuk Bimo. Katanya  untuk gadis yang dicintainya. Gadis itu…”

Tenyata puisi yang diberikan padaku pun puisi palsu! Bukan puisi bikinan Bimo! Aku menunduk sedih. Apakah cinta yang diberikan padaku juga cinta palsu!

Alangkah kejam  dan  menyakitkan kalau kenyataanya  begitu!

Mataku kembali basah. Setetes air mata jatuh…di ember tempat  aku mencuci piring dan mangkok.

“Tik mangkoknya sudah ada  yang  bersih. Cepat gih. Pembeli banyak…”

Aku buru-buru memintas lamunanku tentang Bimo!

Aku buru-buru mencuci mangkok, melapnya  sampai bersih. Lalu membantu  Bude melayani  pembeli.

Aku menghela nafas lega, ketika pembeli terakhir terlayani. Pembeli lain belum datang.

Aku duduk dibelakang tenda, memandang. Kali Wiso.  Di  ujung cakrawala senja telah sempurna  datang. Langit hitam sebentar  lagi datang.  Entah malam ini langit berbintang atau gelap..

Inilah kehidupan. Pagi, siang senja, malam bergantian datang. Aku masih bisa menunggu kedatangannya selama kau masih ada.

Demikian pula dengan cintaku? Entahlah. Tapi  aku  yakin suatu hari akan datang lelaki  lain. Lebih baik dari Bimo. Mungkin dia…Ardi. Atau lelaki lainnya.Aku akan menunggu lelaki cintaku. Aku akan menanti  lelaki yang membawa cinta tanpa dibaluri dusta. Suatu pagi, siang, malam,atau senja ..di suatu hari nanti. Insyaallaah……

Penulis: Kartika Catur Pelita

You May Also Like