bipolarid.com – Tuuiiiiiiiitt….., bunyi uap air mendesak seperti peluit kereta sebelum melesat dari moncong cerek di atas tungku kompor gas, seolah perintah yang menyuruhku segera ke dapur. Cepat kuangkat cerek itu dari kompor. Telah masak rupanya air di dalamnya. Tadi sempat kutinggal keluar sebentar. Kuangkat dan kutaruh cerek itu di atas tatakan kayu. Aluminum yang melapisinya memantul sinar api kompor yang belum kupadamkan. Tampak terang dan berbeda ia dengan kawan sesama perabot dapur lainnya; wajan berpantat hitam, sodet bergagang kayu kusam dan pisau yang sedikit berkarat.
Satu cerek yang serupa kuberikan pada Emak. Cukup mahal jika membeli tunai, tapi tak akan terasa menguras kantung karena kubeli dengan cara kredit dari lelaki bertopi yang biasa jadi langganan Emak menyicil barang-barangnya. Lelaki bertopi itu membelinya langsung dari koperasi pabrik, katanya. Cerek berkilap itu berjajar dengan kusam sodet dan wajan serta perabot dapur murah lainnya. Semestinya ia seanggun Putri Purbasari di antara dayang-dayang, tapi harganya yang mahal membuat tampilannya yang cantik seolah Purbararang yang gemuk duduk angkuh dikelilingi abdi dalem. Seandainya baja dan alumunium dari Banten bisa cukup murah sampai di pengrajin wajan dan sodet di kawasan Cawang, mungkin wajan dan sodet itu akan berjajar sama cantik dengan cerek alumunium di semua dapur warga di sini.
Aku membutuhkan cerek alumnunium itu sebagai ganti panci pemasak air lama yang telah menipis pantat hitamnya. Sementara alat pemanas air minum elektrik tak cukup memuaskan dalam menyajikan panas air untuk membuat segelas kopi. Emak pun tampaknya sepikiran denganku. Ia tampak senang saat kuberi cerek mengkilap itu.
“Terima kasih kamu berikan ini untukku. Pemanas air yang memakai listrik punya Emak serasa mengurangi gerak tangan saja. Bisa cepat tua jika pagi-pagi tak ada yang harus Emak kerjakan, “ ujar Emak sambil semringah tersenyum sendiri.
“Hei Emak kan sudah tua..,” aku meledeknya
“Ya, tapi tak setua kampung tua ini kan.”
“Ha ha ha Emak selalu bisa saja.. Tidaklah, Masak setua kampung ini, Emak masih nampak muda kok,” ujarku menghibur.
“Kalau aku muda, aku akan cari lelaki yang lebih tampan dari kamu.“ Emak selalu punya jawab jika kuberi canda.
Canda memang hal yang ajaib, ia bisa membuat sel-sel pengerut enggan mampir cepat-cepat di wajah. Tapi canda yang gratis tak selalu gampang dipunya jika hati takut membuka jendelanya. Orang gemar menyembunyikan segala kelemahan diri, padahal tiap jiwa membopongnya. Dan itu pasti menyiksa sekali. Kupikir mungkin demikianlah maksud Tuhan menciptakan kekurangan pada setiap manusia agar dapat ditengok sekali perlu. Canda yang baik memang hanya dipunyai orang-orang pemberani. Dan kurasa Emak berani membuka jendela hati jujurnya padaku.
Aku menuangkan air dari cerek itu ke dalam gelas yang telah berisi kopi bubuk dan gula. Kututup gelas itu dengan penutup plastik setelah kuteguk sedikit. Aku akan ke warung depan di dekat petak kontrakan Emak. Beruntungnya aku, warung itu masih menyediakan beberapa bahan lauk pauk yang kubutuhkan. Subuh tadi aku harus masuk ke lorong-lorong becek pasar kota hanya untuk mendapat setengah kilo daging bebek segar. Aku akan memasak menu istimewa hari ini. Bukan untukku sendiri. Segala hidangan yang akan tersaji ini akan kuletakan di meja makan kecil di bilik belakang dapur Emak.
Dari warung kudapatkan beberapa bahan bumbu yang kuperlukan. Ketumbar, jahe, merica dan lengkoas serta kunyit kugerus di atas pipih batu ulekan. Racikan itu kutabur di atas wajan. Tinggal mencampurnya dengan bihun dan irisan daging bebek yang telah digoreng sebelumnya. Goreng kerupuk dan sedikit kecap yang dituang ke dalam mangkuk akan menjadi penutup kerjaku di lecek taplak plastik meja dapur ini. Soto Banjar kusiapkan sebagai sajian khusus unuk Emak hari ini.
Dari banyak kebaikan yang telah Emak beri padaku, mungkin hanya masakan yang kubuat ini yang setidaknya bisa membuat senyumnya mengembang lagi. Tadi ia telah mulai mencuci lagi baju-bajuku meski telah kularang. Selama dua hari kemarin ia hanya berbaring di kamarnya, “Aku hanya meriang, nanti juga sembuh sendirinya“ katanya. Emak tak menelan obat yang ia dapat dari Puskesmas, obat warung pun tak mau ia minum. Emak lebih memilih meneguk racikan jamu yang ia minta belikan dari Si Mbak bakul jamu yang rutin lewat di lorong gang sini. Si Mbak itu rupanya telah sangat hapal dengan tua badan Emak. Belasan tahun ia menjual racikan rempah-rempah dari kampung itu kepada Emak. Aku berharap Emak tetap sehat. Tak dapat kubayangkan jika Emak tiada di dekatku. Hanya ia tempat aku bisa bercerita tentang banyak hal yang rasanya tak mungkin kuutarakan pada orang lain selain Emak.
Tak ada yang berulang tahun atau saat yang diistimewakan hari ini. hanya saja hari Kamis ini aku tak punya jadwal di kafe. Ada baiknya kupikir menyenangkan Emak yang baru sembuh, dan lagi, agaknya sayang juga bila keahlianku memasak Soto Banjar tak dapat dinikmati orang. Kulakukan semua untuk Emak. Ada yang menelisik dalam hati saat sibuk meracik bumbu tadi. Kenangan akan tangan tangkas Ibu dan Bibi yang sibuk melayani pelanggan di kedai kampung dulu melekat di setiap perabot dapur. Kutepis dengan konsentrasi pada api kompor, tetapi api kenangan menyala lebih besar. Sempat kuhentikan kerja masakku dengan teguk kopi. Kubiarkan kenangan itu lewat bersama hangat air kopi di tenggorokan. Dan kini masakan telah siap semua. Akan kuhantarkan sajian ini untuk Emak sekarang.
“Kamu di dapur, Nak?” Suara Emak mengejutkanku. Rupanya ia mendengar berisik perabot dapur yang saling beradu kala aku memasak tadi.
“Ya, Mak sudah bangun? Ada apa Mak?”
“Sudah dari setadi Mak bangun, Emak memang agak capek tapi akan lebih capek kalau berbaring terus. Eh Kalau kau mau, Mak masih punya mie yang bisa kau rebus!”
“Terimakasih Mak, tolong buka saja pintu depan Mak, aku mau ambil baju yang sudah kering Emak cuci tadi.“
“Ya,“ Kali ini ia bersedia menyerahkan baju-baju hasil cuciannya kuseterika sendiri.
Aku keluar menuju rumah Emak, Ia kaget melihat aku membawa nampan yang penuh makanan.
“Ini untuk Emak?“ Ia seolah tak percaya.
“Ya kubuatkan khusus kubuat sendiri untuk Emak.“ Aku berharap ada senyum yang mengembang darinya. Emak tampak terharu matanya berat mengandung air.
“Emak gak pernah mendapat makanan yang khusus dibuatkan orang seperti ini dari siapapun sebelumnya,tidak dari anak Emak sendiri.“
Ia menaruh masakan yang kuberikan itu di atas meja ruang tamunya, melihatnya sebentar dan tersenyum. Aku berharap ia mencobanya segera.
“Wah, Sepanjang umur Emak, soto yang pernah Emak santap cuma soto Betawi, soto buatanmu ini pasti enak sekali. Sayangnya Emak tak makan bebek. Anak gadis di Puskesmas yang merawat Emak tempo hari melarang Emak memakannya,“ ujarnya. Aku terang sangat kecewa. Emak menyadari itu ketika melihat raut mukaku berubah. Emak tahu tentang kerjaku dulu di kedai Bibi, tapi aku pernah bercerita padanya bahwa aku juga bisa membuat soto.
“Ahh, apa peduli Emak dengan perawat di Puskesmas itu. Soto buatanmu pasti enak.“
Pelan ia menyeruput kuah soto sesendok. Matanya menyipit. Suara seruput kuah dimulut Emak menyiratkan rasa sukanya pada masakanku. Aku cukup senang melihat hasil masakanku ia cicipi juga. Emak tak tahu gadis perawat di Puskesmas itu telah aku hubungi untuk sesuatu rencana besar bagi Emak. Ia setuju dengan rencanaku. Kukatakan pada perawat itu agar ia merawat Emak sebaik-baiknya. Kuberikan beberapa rupiahku padanya sebagai tanda terima-kasih.
Emak melahap lagi soto itu dan lagi, ketika hampir habis setengah mangkuk aku menghentikannya menyuap kembali.
“Sudah Mak, nanti sakit Mak kambuh lagi kalau terlalu banyak.“
“Ah.. Emak suka soto ini. Kamu pandai sekali memasaknya.”
“Tapi tak seenak masakan Emak. Cukup sudah makannya ya Mak, kapan-kapan kubuatkan masakan yang lain.” Aku malu membiarkan Emak mengorbankan kesehatannya demi kegembiraanku akan hasil kerja masak tadi. Emak menurut.
Saat makan itu aku utarakan pula pada Emak bahwa ada pekerjaan yang menuntut aku untuk sementara tinggal di tempat seorang kawan selama satu bulan. Sebulan cukup lama untuk membuat berat hati meninggalkan Emak sendirian di sini. Tapi sayang juga membuang peluang mengembangkan keahlianku bermusik yang disodorkan Si Lelaki Tambun itu. Pekerjaan yang diberikan Si Lelaki Tambun itu tak bisa kulakukan di petak kamar-sewa ini. Rumah Si Sintal yang cukup menyediakan sarana bermain musik, lebih memudahkanku menggubah irama lagu meskipun nafas petik gitarnya tetap kuambil dari petak kamar sewaku ini. Kutahu pasti pula irama yang kelak kugubah akan berubah tanpa rencana jika ditampilkan di panggung.
Si Sintal sendiri akan pergi ke Kalimantan selama sebulan itu, setelah ia mendapat gelarnya dan di wisuda dua hari lalu.
“Papi senang saat aku akan di wisuda. Anak gadisnya yang nakal bisa juga menjadi sarjana,‘ ucap Si Sintal dua hari lalu
“Ya kau memang pantas lulus,“ Aku telah mengucapkan selamat padanya sebelum acara wisuda yang tadinya tak mau ia hadiri.
“Setelah berpayah menelan banyak teori untuk mengerti hidup sekarang malah aku harus memakai jubah hitam para bangsawan Eropa abad pertengahan ini. Aku jadi serupa penyihir atau badut. Sungguh bodoh jika kuikuti.” Ia justru mengucapkan itu ketika jabat tangan selamat kusampaikan padanya.
“Kadang kau harus mengalah pada tradisi, karena kau tidak hidup sendirian.“ Tak tahu darimana kudapat kalimat dari ucapanku.
“Aku bukan seperti seorang filsuf Athena yang berupaya melecehkan konvensi dengan mantel kumal berlubang berkeliling kota, dan Socrates justru melihat kesombongan pada dirinya. Aku tak mau memakai toga ini karena sungguh aku tak mau mengikuti apa yang tak dapat kuterima dasar alasannya. Orang boleh saja memberikan simbol-simbol intelektualitas pada kain hitam dan segala embel-embel pada toga ini dan menyebutnya tradisi seperti tadi kau ucap, tapi bukankah justru dengan kuliah kita harus pertanyakan semuanya?” ia bersungut-sungut mengucapkan itu.
“ Orangtuamu telah menunggu lama agar dapat melihat kau mengenakannya. Tidakkah kau pertimbangkan juga hal itu?” ujarku yang mengenalnya bisa sangat keras memegang prinsip yang terkadang aneh kupandang.
“ Ya, aku memikirkan itu juga. Kupertimbangkan hal itu seminggu lamanya, dan aku memang kuputuskan untuk menyerah pada tradisi…he he .. Biarlah, toh tak sampai seharian aku menjadi badut ha ha..”
“Hei..tampaknya aku cantik juga ya dengan toga ini..he he he..” Ia ucapkan itu sewaktu ia coba memakai toganya dan mematut diri di depan cermin. Uh ..perempuan memang sulit kupahami.
Aku mendapat kunci rumahnya sebelum ia berangkat ke Cengkareng bersama kedua orang tuanya yang belum lama datang dari Singapura untuk menghadiri acara wisudanya. Mereka akan terbang ke Kalimantan untuk merayakan keberhasilan Si Sintal meraih gelarnya yang kutahu tak terlalu ia butuh dan harapkan itu.
Aku hanya tersenyum dan mengucek rambutnya ketika Si Sintal mengutarakan padaku bahwa ia bilang pada orang-tuanya telah membayar seorang kawan untuk menjaga rumahnya di Jakarta. Dan giliran ia yang tersenyum saat aku mengecup keningnya dan mengatakan padanya bahwa aku tak mau menjadi monyet sirkusnya yang nunut saja diimingi pisang. Sebulan aku akan tinggal di tempatnya, dan pasti sebulan itu aku akan sibuk dengan perabot musik guna keberhasilan proyek yang dipercayakan padaku. Aku mesti mulai merancang sesuatu yang baru bagi hidupku ke depan. Sesuatu yang akan merubah jalan hidupku bersama orang yang kukasihi.
Emak senang mendengar aku mempunyai proyek kerja. Ia berpikir aku naik jabatan. Selama ini yang ia tahu aku bekerja di Kafe tanpa tahu apa yang kukerjakan di sana.
“Kerjakan apa yang kau suka. Hati-hati, jaga dirimu baik-baik.” ujaran Emak persis Bapak yang menasihatiku dulu. Ah..
Suara ketukan dan salam terdengar dari pintu depan ketika aku akan menaruh mangkuk soto itu ke nampan, Emak membukakan pintu. Seorang lelaki muncul pertama dengan jinjingan tas besar diikuti seorang perempuan berperut besar, yang langsung masuk dan memeluk Emak. Kedua orang itu; anak perempuan Emak dan suaminya. Suami anak perempuan Emak mengutarakan maksud kedatangan mereka. Anak perempuan Emak berencana tinggal bersama Emak sementara hingga bayi dalam rahimnya keluar. Mereka pernah sekali bertemu aku sebelum ini, ketika itu perut anak perempuan Emak belum berisi.
“Saya lebih tenang kalau nanti melahirkan, Emak ada di dekat saya,“ ujar anak perempuan Emak.
Suami anak perempuan Emak hanya akan bermalam sehari saja, pekerjaannya sebagai mandor kuli kontrak di luar kota tak dapat lama ia tinggalkan katanya. Rasa getir hadir kembali melihat anak beranak itu berkumpul. Aku merasa. seolah ada jarak yang hadir sekarang memisahkanku dengan Emak.
“Aku pamit ya Mak.“
“Di sini sajalah sebentaran. Mau apa pula kamu di kamar sendirian.”
“Aku mau bebenah dulu di kamar biar nanti Mpok bisa menempatinya dengan nyaman.”
“Terima kasih ya,“ Si Mpok berkata sementara suaminya hanya tersenyum mengangguk memandangku.
Aku memanggil “Mpok” pada anak perempuan Emak. Anak perempuan Emak sendiri yang memintaku memanggilnya begitu. Kurasa umurnya masih lebih tua aku. Kedatangan anak menantu itu lebih menguatkan alasanku untuk pergi selama sebulan. Aku katakan pada Emak bahwa sementara aku di luar kota Si Mpok kupersilahkan menempati petak kamarku. Kamar Emak yang sempit kurasa tak cukup layak untuk dapat anak beranak itu tinggali. Emak hanya menunduk dan menangis. Ia memelukku, entah kenapa mataku pun menjadi berat berair. Memandang perut Si Mpok menjadikan ingatanku pada ibu kembali memenuhi kepala. Si Mpok masih muda, semoga ia akan selamat dan sehat saat melahirkan kelak.
“Dipannya masih berkutu ya ha ha,“ Si Mpok berujar padaku bersahabat, mungkin ia tak ingin terbawa suasana melihat Emak menangis memelukku.
“Dulu ya, tapi sekarang tidak lagi,” ujarku mencoba tersenyum sambil perlahan melepaskan pelukan Emak.
“O.. gak perlu terburu-buru berangkatnya, biar Si Mpok semalam ini tidur bersama Emak saja , yak kan Mak? Saya sih gampang saja, di ruang ini pun jadi,“ suami Si Mpok berkata. Ia agak tak enak hati merasa seperti mengusirku.
“ Ah, gak terburu buru kok. Memang telah kupersiapkan jauh hari sebelumnya,“ ujarku berbohong, terbayang pakaian dan beberapa barang yang harus kusiapkan dan kumasukkan ke dalam tas besarku hari ini.
Aku meminta izin hendak ke petak kamarku. Kukatakan pula bahwa mereka dapat makan Soto Banjar yang masih banyak tersaji di meja dapurku. Suami si Mpok tersenyum mendengarnya. Tampaknya ia telah lapar. Aku berkemas di kamar, agak repot dengan persiapan mendadak ini. Tas kuisi dengan pakaian, sikat gigi, dan beberapa buku kumpulan lagu. Kupilih baju dan celana seperlunya saja. Gitar dan peralatan lainnya kubiarkan tak terbungkus dulu, biar nanti sore saja kuatur. Toh baru nanti sore aku akan berangkat. Aku ingin menghirup udara siang ini di luar sebentaran saja.
***
Selepas zuhur aku keluar kamar. Lorong gang masih saja lembab, tapi jalanannya kering, seminggu ini hujan tak turun. Pemukiman tampak lebih lenggang dari biasanya siang hari ini, tak terdengar suara anak-anak bergurau di kali bawah itu. Seorang lelaki tua mendorong gerobak es jualannya agak tergesa-gesa, di pundak kirinya terselempang handuk kecil putih yang tampaknya telah sangat lama menemani langkahnya. Toples-toples kolang-kaling dan sirupnya tampak tinggal separuh isi. Kelonengan kaleng yang terikat di pegangan gerobak sesekali berdenting di pukul kentongan kayu yang digenggam tangan kanannya. Langkah lelaki tua itu semakin jauh dan berbelok di ujung gang. Tak ada suara yang memanggilnya singgah. Petak-petak pemukiman seolah menelan penghuninya. Terpal plastik biru menjuntai ke bawah menutup tampak depan kedai kopi, tempat biasa singgah beberapa lelaki di sana. Jendela sebuah kamar kontrakkan terbuka tapi sebagian petak yang lain menutup rapat pintu-pintunya. Pemukiman seperti kampung mati. Sepi sekali siang ini. Denting keloneng penjual es sayup terdengar seperti musik pengiring jenazah ke pemakaman.
Aku berjalan santai. Matahari tak terlalu terik. Sebatang rokok kunyalakan, asapnya mengepul sebentar sebelum hilang dihembus angin yang terasa lamban bergerak. Hanya sepuluhan langkah lagi kuhitung akan sampai kakiku di belokan mulut gang ketika suara-suara mulai terdengar dari ujung jalan. Suara-suara lelaki terdengar semakin kencang bersahutan. Penasaran kupercepat langkah dan sampai di ujung gang dengan tanda tanya. Kurang lebih dua puluh lelaki dewasa berkumpul mengerumuni dua orang lelaki berbaju seragam safari coklat tua yang memegang map kuning di gardu ronda, tak kuhitung anak-anak yang tengah berdiri dan sebagian jongkok di dekat tembok batas kali.
“Mampir dulu Bang!” suara lelaki yang ternyata Si Gempal. Ia melihatku dan mendekat berujar. Nada suaranya seperti sangat berharap.
“Wah, ramai sekali, ada apa?” tanyaku heran
“Ada orang dari Kantor Camat mau bertemu pak RT.”
Si Gempal mau menjelaskan lebih lanjut tetapi teriak dan umpatan yang keluar dari orang-orang yang berkumpul memotong ucapannya. Mereka mendesak dua lelaki bersafari itu yang mulai kewalahan menjawab setiap tanya bercampur cacian orang-orang itu.
“Kampret!!”
“Gua hajar mereka kalau nanti berani masuk!!“
“Mereka pikir kita akan nurut saja kayak kerbau!!“
“Nyawa gua taruhannya.. Gua gak rela!”
Mulanya aku tak paham tetapi dari ujaran orang-orang lainnya aku jadi mengerti, dua orang berbaju safari coklat itu membawa surat pemberitahuan yang katanya dari Pengadilan Negeri. Isinya memerintahkan untuk menyita tiga perempat lahan pemukiman ini, setelah suatu keputusan yang belum jelas ku dengar siapa yang menandatanganinya memerrintahkan eksekusi lahan ini.
Orang-orang melihat padaku dan memberi jalan untuk mendekati orang-orang bersafari itu, Agak risih melihat tatapan mereka yang tampak segan padaku. Sorot mata penuh harap mereka tak membuatku nyaman, seperti ada pikulan berat yang harus kutaruh di bahu dan ada corong yang diserahkan untuk mewakili suara mereka. Aku merasa terjebak dalam persoalan ini.
“Bagaimana duduk perkaranya Pak?” tanyaku pada orang-orang bersafari itu.
“Warga disini tidak berhak mendiami lahan yang bukan hak miliknya. Lahan ini milik Negara akan dipakai untuk kepentingan Negara. Jadi warga disini diminta pindah. Ada uang pengganti yang akan diberikan untuk mempersiapkan kepindahan.”
“Bagaimana bisa begitu? Mereka sudah tinggal di sini puluhan tahun!“ ujar tanyaku
“Tapi tidak ada surat yang menunjukan bukti kepemilikan,” jawab si orang bersafari yang tidak memegang map.
Aku melirik Si Gempal, ia mendekat padaku .
“Lantas bagaimana jawaban Pak RT? “ tanyaku setengah berbisik pada Si Gempal.
“Ia tak ada di rumah, Istrinya bilang ia sedang keluar tapi istri Pak RT sendiri tak tahu kemana suaminya pergi,“ Seorang bersafari pembawa map malah yang menjelaskan.
“Ah paling paling ia sembunyi di kamarnya, tak mau repot ia jika sudah begini,” Si Gempal berujar.
“Tapi mana mungkin ia sembunyi, bukankah rumahnya juga akan ikut kena,” seorang tua beruban melontar ucap
“Puihh… ia bisa saja telah bersekutu dengan orang kantoran itu, Siapa yang berani jamin ia jujur,“ orang yang lainnya menimpal
“Jangan begitu kurasa ia telah cukup berkorban buat kita-kita.” Seorang dengan rambut beruban mencoba meredam panas suasana. Tapi sia sia ujar umpat dan bantah membantah makin ramai terdengar diantara mereka
“Berkorban apa? Mana buktinya?”
“Ia selalu ikut ronda!“ suara orang yang lain
“Kerja bakti juga ia ikut!” timpal orang di dekatnya.
“Tapi dia juga menarik iuran bulanan. Mana tahu kita kemana berangkatnya uang itu. “
“Itu kan sudah aturan.”
“Ya, aturan dibuat pasti sudah diperhitungkan pake akal.”
“Ya, pasti pake akal, tapi akal-akalan.”
“Wajar saja kita bayar”
“Apa wajar kalau nyangkutnya di para tukang palak itu.”
“Sekarang gak ada satu pun kepala mereka nongol di sini!”
“Pak RT juga!”
“Dia mungkin kabur !“
Tak ada yang tahu pasti apa pekerjaan Pak RT alias Si Kumis Tipis itu. Orang-orang di pemukiman ini hanya tahu ia sering terlihat berpakaian rapi, kemeja lengan panjang atau batik serta bersepatu kulit. Ia nampak seperti sibuk mengurus surat-surat warga di kantor kelurahan. Pak RT itu suka mengatakan bahwa ia juga menyambangi kantor camat, instansi-instansi penting, bahkan sampai ke Balaikota. Hanya Si Kumis Tipis yang sehari-hari mengenakan kemeja rapi di pemukiman ini. Ia mengaku pernah kuliah. Sedikit warga lainnya meragukan itu. Tetapi mereka percaya ia makelar surat-surat penting yang lihai melobi para pengawai di kantor pemkot..
“Ah sudah!.Kenapa kita harus ribut tentang dia !”
“Ya, Pak RT diperlukan untuk mensosialisasikan berita ini kepada penduduk di sini, kami pikir tak perlu meributkan Pak RT Toh, sekarang bapak-bapak sudah mendengar sendiri berita ini.“ Ujaran Si Bersafari pembawa map tidak cukup mempan meredam lontaran ucap warga, yang kadung emosi.
Berita akan digusurnya lahan pemukiman ini merupakan pukulan terberat bagi penduduk yang menghuni pemukiman disini. Jauh melebihi masalah apapun yang pernah mereka hadapi selama ini. Rumah adalah segalanya, bukan sekedar tempat berteduh, tidur dan mandi atau sekedar tempat menaruh barang. Bagi orang-orang di kota ini ia telah menjadi tujuan hidup itu sendiri. Rumah telah menjadi simbol di mana semua pencapaian hidup diletakkan di situ. Betapapun buruk kondisinya, kehilangan rumah adalah kehilangan segalanya.
“Mau kemana kita kalau bukan di sini?”
“Gua baru kawin. Gua gak mau tidur di kolong jalan layang.“
“Siapa yang suruh lu tidur di sana?!“
“Bapak-bapak bisa menempati rumah susun yang rencananya akan dibangun di sini nanti,“ Si Bersafari menjelaskan.
“Baru rencana, kenyataannya bisa lain nanti!“
“Tapi enak juga kalau tinggal di sana. Aku pernah ke rumah susun di Pulo Mas waktu dapat buangan kardus. Biar turun naik tangga tapi pasti enak tinggal di sana,“ seorang pemulung berujar.
“Ya, tapi apa enak juga bayarannya? Gua tahu jumlah cicilannya. Sebulan dua bulan bisa aja lu bayar, bulan berikutnya mulai deh lu pinjam duit dari inang-inang yang suka ngider keliling kampung itu. Nah anak bini lu apa rela kalau jatah makan sebulannya lu pake buat bayar bunganya….Ha. ha,” Seorang yang botak kepalanya tertawa miris.
“Lalu mau kemana kalau ini digusur?”
“Siapa yang berani gusur?! Kita lawan mereka!“
“Ya, Memangnya sejak kapan orang itu punya lahan di sini!”
“Bukan orang yang punya tapi Negara katanya.”
“Negara isinya orang juga ‘kan!?”
“Gua di sini sejak lahir, enak aja ada yang ngaku tempat ini!” seorang berkaus oblong berujar keras.
“Orang seumuran lu yang lahir disini bukan lu aja, memangnya bapak lu punya surat apa?!”
“Nggak tahu, jangankan surat tanah, surat kawin saja dia gak punya, katanya.“
“Semprul!! Semua yang di sini gak ada yang punya surat tanah ini, tapi Pak RT tiap tahun narik pajak dari kita.”
“Ya memang tidak ada. Ini tanah Negara,” Si Bersafari pemegang map menjelaskan.
“Tapi kita ‘kan bukan kucing atau tikus, kucing aja kita kasih tempat berak, Masak kita diusir begitu saja, gak bisa begitu dong. Kemana larinya duit pajak yang di Pak RT itu? Kita sikat aja tuh orang!” Si Kaus Oblong berargumen, urat di lehernya tampak merentang.
Si Kaus Oblong memang dikenal pemarah dan seperti menemukan kancahnya kali ini. Dua puluhan tahun usianya. Biasanya ia menumpahkan gelegak emosinya saat menonton pertandingan tim sepakbola kota ini. Ia akan menikmati sekali saat-saat menguasai kota dengan ikut berarak-arakan di atap bus kota dalam perjalanan ke stadion di Senayan. Kalah dan menang tim kesayangan tak lagi jadi soal. Ia pun terkadang ikut demonstrasi, demo apa saja asalkan bisa mengguncang besi pagar gedung sasaran. Tentu, disamping nasi kotak dan bayaran yang didapat dari bandar demo, umpat serapah pun dapat bebas ia keluarkan. Saat itu ia akan memaki siapa saja yang dapat dimaki. Mungkin juga saat itu ia merasa sedang menjadi pejuang. Pejuang pembela nasibnya sendiri.
“Jangan keburu nafsu.“ Si Botak berujar
“Siapa yang gak nafsu kalau dibeginikan!? Coba kalau Pak RT ada, apa mau dia dibeginikan?!” Si Kaus Oblong tetap mengepulkan bara.
“Ahh pak RT lagi, mau harapkan apa dari dia?! Mending kita tunggu saja jadinya urusan ini nanti,” ujar Si Botak.
“Jadi bagaimana keputusannya Pak?“ tanyaku pada dua orang bersafari itu
“Keputusan eksekusi lahan mungkin satu bulan lagi baru dijalankan, tapi kami diminta mensosialisakan dahulu kepada warga sini oleh Pak Camat. Supaya tak terjadi hal hal yang tak diinginkan, kata beliau. Ini perintah atasan. Kami tak tahu menahu masalah ini, tugas kami hanya menemui kepala lingkungan di sini, sayangnya Pak RT tidak berhasil kami temui.”
“Pak Camat ‘kan bukan orang pengadilan!”
“Ya tapi beliau kepala wilayah,” ujar Si Safari
“Wilayah pengadilan?“ Si Pemulung pandir bertanya
“Sotoy, …Wilayah kepale lu gemblung!!” Si Gempal meledek.
“Siapa yang gemblung? Pak Camat?” Si Pemulung memang tak pernah sekolah.
“Lu..yang gemblung!!” Si Gempal mulai naik alisnya.
“Eh .ada gemblong ya, Bang?” tanya seorang bocah
“Kepala-lu isinya makanan melulu,” Si Gempal mengemplang kepala anak itu. Ia masih bisa tertawa.
“Eh.. Gimana kalau kita pake pengacara buat belain kita!?” Si Pemulung masih mencari jalan
“Lu jangan mimpi! Siapa yang mau bayar?!” Si Gempal sinis menjawab.
“Kan ada yang gratis katanya!?”’
“Sotoy lu! Yang gratis buat lu cuma iler !. Lagian kalau ada, pasti mereka juga sudah siap pake pengacara mahal yang nyari duitnya dari tilep-tilep pasal. Beli palu hakim kan kudu pake duit. Mana mau digratisin. Pengacara kayak begitu jualannya kan lewat tampang. Gua lihat di Tv malah ada yang pake cincin berlian segede biji mata. Gua taksir harganya pasti lebih mahal dari kepala lu semua!.”
“Sialan lu.. ! Lu pikir kepala gua barang jualan!”
“Lu jual pun belum tentu ada yang mau beli. Ha ha ha..”
“Sudah sudah!! Bubar saja sekarang!! Gak ada gunanya kita bertengkar sekarang. Masih ada waktu satu bulan lagi. Kita rapatkan nanti saja, sekarang kita bubar saja!!“ Seorang tua yang sedari tadi hanya berdiri di kerumunan itu akhirnya bicara. Ucapannya didengar orang-orang itu yang baru menyadari resiko kehilangan waktu mencari rezeki satu hari ini.
Dan orang-orang kembali ke tempatnya masing-masing. Dua orang bersafari pun beranjak pergi. Aku sendiri lagi, menatap punggung-punggung berlalu satu-satu meninggalkan ujung jalan gang yang kembali sepi. Kuyakin mulai saat ini hingga bulan-bulan ke depan kepala mereka akan tambah berat menampung beban pikir, yang selama ini pun telah penuh dengan kerepotan mencari cara dari susahnya menyumpal lambung yang sering kosong. Getir teramat sangat menyelimuti benak. Sebulan lagi pemukiman ini mungkin tinggal kenangan, berganti dengan rumah susun yang katanya akan didirikan di atasnya. Aku akan tinggal sementara di tempat Si Sintal, tapi tak ada rencanaku untuk pindah dari petak tinggal Emak. Petak tinggal perempuan yang telah kuanggap pengganti ibuku di kota ini
Pemukiman ini seperti pokok kayu keropos tempat semut-semut, kecoak dan rayap berdiam, yang kapan saja angin berhembus dapat seketika menghancurkan segalanya. Seperti kawasan koloni kecil di tengah rimba beton kota yang angkuh dan siap mengancam. Mereka mungkin menyadari hanya bisa bertahan jika di antara penghuni koloni saling membantu.
Langit di atas kota merangkak pekat, kelabunya menyaput dinding-dinding rumah petak. Asap di atas atap-atap dapur mengepul mengirim uap karbon pada baliho bergambar wajah politikus yang terbentang di gapura gang. Baliho dan spanduk yang memampang basi mantra-mantra perubahan sudah serupa spanduk pengobatan alternatif yang menawarkan manjur aji-aji, semakin meriuhkan kota. Aku teringat Si Mpok dengan perutnya yang membesar itru, cemas sesuatu yang buruk dapat menimpanya. Tak akan kukabari hal kedatangan Si bersafari tadi kepada Emak dan Si Mpok. Aku hanya akan pamit saat berangkat meninggalkan mereka sore nanti. Tak sanggup aku melihat kebahagiaan Emak dan Si Mpok siang ini rusak oleh berita buruk ini. Biar Emak mengetahui sendiri dari orang lain tapi bukan dariku, dan tidak sore ini. Aku melangkah pulang dengan pikiran kusut dan resah, terbayang wajah-wajah perempuan yang kukasihi. Terbayang kembali masa di desa dulu.