bipolarid.com – Panas matahari siang awal bulan Juni seolah mampu meretakkan kepala. Deru debu di sepanjang jalan yang sedang diperbaiki, menyempurnakan lanskap kota yang sedang menuju kemajuan pesat. Namun seorang lelaki muda; Rahman, yang sedang menyapu jalan di tengah kota itu seolah tak menghiraukan apa pun, ia terus menyapu, memasukkan sesampah ke dalam gerobak yang terletak di depannya. Dan memilah beberapa di antara sampah itu yang dapat ia jual, seperti botol minuman kemasan dan kertas. Sesakali ia mengelap keringat yang mulai mengucur di wajahnya yang kemerah-merahan, dengan lengan baju yang dibaluti debu. Hatinya tiada henti bermunajat, agar Allah senantiasa menjauhkan dirinya daripada prasangka buruk terhadap orang-orang yang kadangkala sengaja mencampakkan sampah di depannya, bukan dalam tempat pembuangan yang telah tersedia di berbagai tempat di kota itu. Ia berharap Allah membimbingnya dalam keikhlasan, selain upah yang ia dapatkan dari pemerintah atas jerih yang ia telah lakukan, untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan kedua anaknya.
Kemudian ia berhenti, menegakkan tubuhnya yang tegap dan tinggi, menabur pandangannya ke segala penjuru, memperhatikan bila masih ada sampah yang tertinggal. Tetapi, beberapa lamanya ia berdiri memperhatikan dengan saksama, tak ada lagi sampah yang tersisa. Perasaannya sedikit lega. Meskipun di depan sebuah toko pakaian masih banyak sampah yang harus ia ambil dan menaruhnya dalam gerobak itu, tak merasa lelah di bawah sengatan matahari yang menghunjam tubuhnya.
Ketika ia sudah berada di depan sebuah toko kelontong, tangannya mengais-ngais sampah dari berbagai jenis, sayup-sayup terdengarlah azan dhuhur berkumandang dari sebuah masjid di kota itu. Lalu ia meninggalkan sesampah dan gerobaknya, beranjak pergi ke masjid, sembari menyahuti lantunan azan.
Ketika ia sudah sampai di masjid, ia menggantikan pakaian kumalnya dengan pakaian shalat yang bersih, dan sebuah kopiah hitam yang agak pudar, yang telah pula ia persiapkan dari rumahnya sejak setahun lalu ia menjadi tukang sapu.
Sambil menanti para jamaah lainnya, ia melaksanakan shalat sunat tahiyatul masjid dua rakaat, kemudian melanjutkan zikir dan doa, sampai kemudian para jamaah datang dan memenuhi barisan shalat dhuhur itu.
Setelah shalat usai, para jamaah sudah bubar dan keluar dari masjid menuju tempat aktivitas mereka masing-masing, Rahman masih duduk, kusyu’ dalam untaian kalimat zikirnya. Tasbih, tahmid, dan takbir, terus mengalir dari kedua bibirnya. Sesekali matanya meneteskan air bening, yang terasa sejuk nan damai. Tiada terpikir olehnya saat itu selain penghambaan diri pada sang khaliq. Ia pun tak lupa bermunajat, agar Allah senantiasa melimpahkan padanya kelapangan rezeki serta hatinya mampu menerima apapun takdir dari yang maha kuasa. Ia selalu berprasangka bahwa selalu memberinya yang terbaik, dan tiada cobaan yang berat selain kesanggupannya.
Matahari semakin tergelincir ketika ia keluar dari masjid itu. Jam ukuran besar yang bergantung pada dinding luar masjid sudah menunjukkan pukul 02. siang. Namun panas cahaya bola api raksasa itu masih sangat menyengat, seolah bara yang takkan pernah padam.
Rahman kembali ke depan toko kelontong itu, di mana ia meletakkan gerobak sampahnya dan setengah karung barang bekas, yang akan ia jual nanti setelah pekerjaannya selesai menjelang Asar. Namun begitu ia tiba di tempat yang ditujunya, karung berisi barang bekas itu sudah raib. Entah siapa yang tega mengambilnya. Padahal dari penjualan barang bekas itu ia akan membeli dua kilogram beras dan obat batuk anaknya.
“Masyaa Allah!” ucapnya, dengan kedua bibirnya yang bergetar. Ia mempertahan hatinya agar tetap tegar. Ia berpikir mungkin ada pemulung yang melewati tempat ditaruh barang bekasnya, yang membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhannya pada petang itu. Dan sedemikian rupa ia singkirkan prasangka buruk terhadap orang yang mengambil miliknya. Seandainya seseorang itu meminta langsung padanya, ia pun akan rela memberinya, jikalau memang benar sangat membutuhkan. Lagi-lagi ia ikhlaskan, semoga Allah menggantikannya yang lebih baik.
Rahman tercengang, ketika ia melihat sampah di dalam gerobak itu pun tak ada lagi. Kosong. Akhirnya ia pun tak mampu menahan kesedihan. Kini harapan mendapatkan sedikit uang dari hasil penjualan barang bekas, yang sudah setiap hari begitu, tiba-tiba sirna. Ia tak mampu membayangkan bagaimana nanti kalau ia pulang ke rumah dengan tangan hampa, tak membawa beras dan obat untuk anaknya yang sejak tadi pagi terserang batuk.
Dengan perasaan bersalah dan penuh kegamangan tiada tara, ia melangkah perlahan, mendorong gerobak sampahnya, kemudian berhenti di depan taman di sebelah kanan pintu gerbang kota yang bertuliskan “Selamat Datang di Ibukota Kabupaten Aceh Utara”. Namun di taman itu tak ada sampah yang berserakan. Hanya sedikit dedaunan yang jatuh dihembus angin siang di bawah pepohonan yang berjejer mengelilingi taman nan asri itu.
Rahman mulai kebingungan, apa yang mesti ia lakukan untuk memperoleh uang pada petang itu. Semakin ia pikirkan kepada anaknya yang sedang sakit dan beras sudah habis di rumah, pikirannya kian kalut. Pikirannya tak ada yang membuahkan hasil.
Hampir satu jam lamanya ia duduk termenung pada sebuah tembok di ambang pintu masuk taman, kemudian ia meninggalkan taman itu. Melangkah perlahan, terus berjalan di sepanjang trotoar itu. Sangat perlahan. Seolah langkahnya ia atur sedemikian rupa lambat, sembari melirikkan matanya sana-sini, di mana ada sampah yang bisa ia hasilkan uang dari penjualannya. Namun sia-sia, pandangannya saat itu tak ada yang berarti.
Saat itu ia menyalahkan diri sendiri, mengapa sebulan lalu ia tak ikut temannya Arman merantau ke negeri jiran Malaysia. Kalau ia bekerja di sana, pikirnya, pasti mendapat uang banyak, karena nilai mata uang di negeri jiran itu lebih tinggi dibandingkan negeri ini, yang semakin melemah karena pengaruh keadaan dalam negeri akibat ulah para koruptor. Ia pun berpikir, seandainya ia bekerja di Malaysia, kehidupannya akan berubah, terutama anak dan istrinya. Mereka tidak pernah mengkhawatirkan kebutuhan sehari-hari. Tetap bisa makan tiga kali sehari, meskipun Rahman berada jauh di perantauan, yang setiap bulannya ia kirimkan uang kepada istrinya. Bahkan tidak lama kemudian pun dapat memiliki rumah sendiri. Tidak seperti sekarang masih tinggal di rumah kontrakan di pinggir kota itu, di belakang deretan toko dan gedung-gedung tinggi, yang selalu saja banjir pada setiap turun hujan deras karena parit di depan rumahnya sering tersumbat.
Apa pun yang ia pikirkan hanya buah hayalan semata. Ia tetap tak mampu melenyapkan kegundahannya, yang serta merta kian bertambah-tambah ketika ia semakin dekat dengan rumahnya.
Ketika ia berada hanya beberapa meter dari gang masuk ke rumahnya, tiba-tiba sebuah truk datang melaju kencang dari arah belakangnya. Namun ia tak menyadarinya, “Bruukk!” terdengar gerobaknya terbanting, serta merta ia jatuh tersungkur tertimpa gerobak sampah itu. Darah mengucur dari kepala dan kakinya. Dan beberapa bagian tubuhnya mengalami luka parah. Kemudia ia tak sadarkan diri.
Truk itu terus berlari kencang, seolah kesetanan. Hanya beberapa laki-laki kemudian datang ke tempat Rahman terkapar pingsan bersama gerobak sampahnya.
“Ayo angkat! Jangan dilihat saja!” bentak seorang laki paruh baya, sembari mendorong gerobak itu ke pinggir jalan.
Kemudian tiga laki-laki lainnya membopong tubuh Rahman.
“Ini, Rahman kan?” tanya salah seorang dari mereka.
“Siapa pun dia, bawa saja ke rumah sakit. Nanti kita pikirkan!” ujar laki-laki yang mendorong gerobak tadi.
“Apa tidak sebaiknya kita beritahu dulu istrinya.”
“Tidak usah. Kita bawa saja dia ke rumah sakit.”
Melihat ketiga lelaki itu membopong tubuh Rahman, orang-orang mulai berdatangan ke tempat kejadian itu. Namun lelaki yang mula pertama menemui tubuh Rahman terkapar yang pingsan itu, membubarkan kerumunan orang-orang. “Awas! Kalau kalian mau menjenguknya, di rumah sakit saja. Kita khawatir dia akan banyak kehabisan darah.”
Karena jarak rumah sakit hanya seratus meter dari tempat kejadian, tiga lelaki itu hanya membopong tubuh Rahman, tidak dibawa dengan mobil ambulan. Orang-orang, baik perawat maupun pegawai rumah sakit itu tercengang melihat tiga lelaki yang membopong tubuh Rahman setengah berlari. Darah berceceran di lantai rumah sakit. Memang wajah Rahman tak tampak romannya. Sekira mereka tak melihat Rahman ketika ditabrak truk itu, tak ada yang kenal siapa yang sedang dibopong oleh para lelaki itu.
“Mana dokter. Dokter..dokter…dokter…!” teriak para lelaki itu bersamaan.
“Ke kamar sebelah, Pak!” kata seorang suster.
“Dokter mana, Sus?”
“Tidak apa-apa. Bapak bawa saja pasiennya. Sebentar, Saya panggil dokter!”
“Iya, Sus. Tolong cepat sedikit. Pasien ini sudah banyak kehabisan darah.”
Tubuh Rahman diletakkan di ranjang. Seorang lelaki membersihkan darah yang menutupi sebagian wajah Rahman, sebelum suster dan dokter itu muncul.
“Silakan Bapak keluar sebentar. Insya Allah, akan kami tangani” ujar dokter yang baru saja masuk ke ruang ICU.
“Baik, Dok!” balas lelaki itu, sembari tersenyum, lalu keluar menuju ruang tunggu.
***
“Ya Allah, di mana aku? Apa yang telah terjadi padaku? Kenapa kepalaku pusing sekali, kakiku nyeri sekali. Seluruh badanku terasa remuk. Ya Rabb, di mana istri dan anakku? Mereka di mana?” Rahman membatin, ketika siuman. Mulutnya terkatup. Pandangannya mengabur. Ia hanya dapat melihat gumpalan-gumpalan kabut membalut seisi ruangan itu. Rahman tak dapat melihat seorang perawat laki-laki sedang membersihkan tangannya dari darah, dan seorang perawat perempuan yang sedang memasang infus. Ia hanya merasakan rasa nyeri dan perih di beberapa bagian tubuhnya.
Hampir setengah jam lamanya Rahman merasa kehilangan konsentrasi, penglihatannya kabur, sebelum kemudian ia ingat bahwa tadi petang tubuhnya diseruduk truk saat pulang ke rumah. Tapi ia tak mampu mengingat siapa yang telah membawanya ke ruangan serba putih ini.
Di tengah sedu-sedan pikirannya segala kekaburan dan membingungkan, serta merta teringat anaknya yang sedang sakit di rumah. Ia mulai khawatir, bagaimana nasib anaknya kini. Apakah istrinya sudah membeli obat atau….Ia tak mampu memastikannya, selain kesedihan yang terus merangkai di benaknya.
“Ya Allah, selamatkan anakku. Aku percaya bahwa Engkau takkan memberi cobaan sehingga aku tak sanggup menerimanya. Aku mohon ya Allah…” serunya, dengan kata yang terbata-bata. Rasa sakit hilang pada sekujur tubuhnya. Ia hanya mengingat anaknya yang kini entah bagaimana.
Beberapa lama kemudian, istrinya masuk ke ruangan di mana ia sedang terbaring lemah.
“Pa…”
Mulut istrinya seolah tersekat, tak mampu lagi mengeluarkan sepatah kata, melihat sang suami dalam keadaan yang tak pernah ia sangka. Terlebih lagi Rahman, ia membayangkan berita buruk yang akan disampaikan istrinya tentang keadaan anaknya. Namun sebelum sempat ia buka mulut, ia melihat anaknya yang ia khawatirkan itu dalam gendongan istrinya.
“Saya tak apa-apa, Ma.”
“Tapi, kaki dan tanganmu diperban.”
“Percayalah, saya tak apa-apa. Sebentar lagi akan sembuh,” Rahman menjawab sekenanya. Ia tak merasakan kaki kiri dan tangan kanannya yang patah, yang butuh waktu sekian lama untuk sembuh. Namun wajah istrinya menampakkan kecemasan atas sesuatu yang telah tertimpa Rahman. Kedua mata perempuan muda mulai mengeluarkan cairan bening, yang buru-buru ia seka dengan ujung kain gendongan anaknya, sambil terus menatap suaminya yang tak bisa ia lakukan apa-apa. Hanya doa dan permohonannya kepada Allah semata yang ia harapkan, semoga sang suami lekas sembuh dan dapat bekerja seperti semula untuk menafkahi hidupnya dan seorang anaknya. Ia amat yakin Allah mendengarnya, meskipun doa dan permohonan itu hanya terbesit dalam hati. Bukankah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui?
Beberapa lamanya suasana hanya lengang dan senyap. Kedua suami-istri itu larut dalam kecamuk pikiran masing-masing, diselimuti kegundahan sebab nasib baik belum juga kunjung datang dalam kehidupan mereka. Usaha dan doa, begitulah yang selalu tertanam dalam jiwa mereka, yang tak pernah ditinggalkan. Keduanya berada dalam satu wadah kehidupan yang memang tak pernah terpisahkan. Mungkin Allah belum berkehendak, pikir Rahman.
“Apakah Anda istrinya?” tanya seorang perawat perempuan, yang baru saja masuk ke ruang itu.
“Iya,” istri Rahman mengangguk.
“Ibu diminta datang ke ruang administrasi sebentar. Mari, ikut saya sekarang.”
***
Penulis: Mahdi Idris
Mahdi Idris lahir di Desa Keureutoe, Kec. Lapang, Aceh Utara, 3 Mei 1979. Selain mengajar, ia juga menulis cerpen, puisi, resensi, dan artikel, dimuat beberapa media lokal dan nasional. Kumpulan cerpennya yang telah terbit Lelaki Bermata Kabut (Cipta Media, 2011). Kini menetap di Tanah Luas, Aceh Utara.