Menggugat Cerpenis Masa Kini; Antara Idealis dan Materialis

Perkembangan Cerpenis Masa Kini

bipolarid.com – Setidaknya apabila kata “pengarang” diposisikan seperti “cerpenis” akan lebih nyaman mengutip ungkapan Rolan Barthes via BW (2011: 39) yang menyatakan tentang “the dead of the author”, diindonesiakan menjadi “kematian pengarang” maka saya menyebutnya “the live of the author” atau lebih tepatnya sebagai “the rise of the author” yang mempunyai arti “kebangkitan pengarang”.

Aktivitas menulis saat ini sangat menggembirakan dunia kesusastraan yang ditandai dengan karya cerpen yang tayang di pelbagai media. Menariknya, cerpen yang merebak tiap minggunya kebanyakan lahir dari cerpenis pemula. Hal ini dapat dijadikan pula sebagai bahan saingan antara cerpenis junior dan cerpenis senior. Ini akan menjadi berita hangat jika diungkap proses kekreatifan pengarangnya.

Dalam hal ini perkembangan tersebut dapat dilihat dari munculnya nama-nama cerpenis baru di pelbagai media seperti koran, majalah, tabloid dan media lainnya. Meskipun, media yang ada di Indonesia setiap minggunya tidak menjamin memberi jatah rubrik “sastra”.

Ada pula cerpenis ketenarannya dapat dilihat dari keproduktifannya berkarya sehingga tidak salah jika tiap minggu cerpennya akan bermunculan di beberapa media. Hal ini belum secara cermat diketahui kreatornya oleh cerpenis senior atau junior. Namun, ketenaran tersebut tidak menjamin hanya diperoleh cerpenis produktif saja yang sering menghasilkan karya. Cara menulis cerpen dengan mengedepankan kualitas juga menjadi tolok ukur ketenaran seorang cerpenis tersebut.

Banyaknya cerpenis baru menjadi sebuah kebanggaan agar menulis cerpen tidak hanya sekadar hobi saja, melainkan menjadi kepercayaan yang mempunyai substansi nilai dan menjadi tradisi. Dilihat dari unsur kesejarahannya, dengan menulis berarti telah membuka jendela pengetahuan masyarakat menjadi lebih akrab.

Cerpenis Idealis

Ragam cita-cita seorang cerpenis menimbulkan banyaknya pandangan dirinya sebagai seorang kreator cerpen. Ada ragam cita-cita hanya sebatas kesenangan sampai menjadi pertaruhan hidup. Jika seseorang tidak menulis cerpen maka bersiap-siaplah dia akan mati karena tidak mencari penghidupan dengan cara menulis cerpen.

Menjadi cerpenis idealis tidak demikian, cerpenis idealis ialah cerpenis yang tidak begitu memperhatikan kebutuhan pasar (media). Ia selalu menulis hal-hal yang menurut dia bagus dan berkualitas, tapi ia tak peduli apakah tulisan tersebut laku di hadapan pembaca, redaktur, kritikus, esais atau tidak. Selain itu, cerpenis idealis biasanya tidak begitu mempersoalkan imbalan finansial. Sebab itulah, saya melihat cerpenis idealis adalah sosok yang rendah hati. Ia rela berpanas-panasan, jalan kaki, alih-alih naik sepeda, berhujan-hujan, bermandi keringat dan terkadang ia juga bersedia disebut sebagai si miskin. Jika tidak demikian, itulah sisi lain kehebatan seorang cerpenis idealis. Bagi cerpenis idealis yang penting ada kepuasan batin yang didapatkan setelah angan-angan berhasil ia tuliskan.

Dengan demikian, kesempurnaan sebuah cerpen lebih penting daripada produktivitas. Biarlah sebuah cerpen ditulis dalam jangka waktu yang amat lama, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun sekalipun. Menulis cerpen yang dalam jangka waktu lama tidaklah begitu diperhatikan, yang penting kualitasnya bagus.

Berbeda dengan Edi AH Iyubenu, salah seorang cerpenis terproduktif di masanya. Ketika menulis cerpen, tidak heran jika dalam waktu sehari cerpenis yang mendapat gelar cerpenis angkatan 2000 itu[2] menghasilkan minimal lima buah cerpen lengkap dengan judulnya. Lebih tepatnya, Iyubenu menulis cerpen sekali duduk dan siap saji.

Namun, Iyubenu bukan berarti termasuk cerpenis yang tidak idealis. Bahkan menurut pandangan saya ia telah mengubah sedikit pandangan ciri-ciri cerpenis idealis. Dengan cara Iyubenu menulis cerpen sekali duduk dan siap saji, justru tidak pernah terpikirkan cerpennya akan dibantai oleh kritikus atau dipuji.

Mengarang cerpen bukanlah kerja yang layak dibangga-banggakan. Ia tak lebih dari sekadar: berangan-angan, berkhayal-khayal, melamun-lamun, menyusun-nyusun cerita, lalu jadilah sebuah igauan yang membuaikan banyak orang lantaran untaian-untaian kisahnya. Sementara itu, di kejauhan sana, biarlah orang-orang pintar itu menegangkan urat leher untuk memperdebatkan estetika, struktur cerita, penokohan, flashback, ending, misi, visi, citra bahasa, historisitas, orisinalitas, imajinasi, intertekstualitas, implikasi sosial, residu, dan sebagainya. Prek! Biarlah itu menjadi kepentingan eksistensial para kritikus dan esais sastra yang bila tidak ada itu semua niscaya akan kelaparan, kehilangan jabatan, status sosial, dan selanjutnya tak ada lagi berbeda dengan kebanyakan orang awam Indonesia (Edi AH Iyubenu, 2003:xvii).

Imanuel Kant menyebut pandangannya dengan istilah idealisme transendental dan idealisme kritis. Idealisme transendental inilah terjadi dengan sendirinya pada cerpenis idealis. Ia selalu menonjolkan hal-hal yang bersifat keruhanian. Bagi Kant, isi pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya, dan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri. Sifat benda adalah berwujud dan berjasad sekaligus berharga. Jadi benda itu bukan ruh, di sinilah maksud lain antara pengalaman, ruang dan waktu yang merupakan sebuah intuisi.

Cerpenis Materialis

Untung Wahyudi dalam opininya di Majalah Sabili no.08/Januari 2012 mengutip pendapat Helvy Tiana Rosa, setidaknya ada tiga tujuan seseorang dalam menulis. Pertama, nasyrul fikrah (menyebarkan pemikiran), kedua tanmiyatil kaffah (mengembangkan kemampuan) dan ketiga kasbu al-ma’isyah (menambah penghasilan). Menulis cerpen bagi seorang cerpenis tidak lain adalah bertujuan untuk menyebarkan pemikirannya melalui ide-ide kreatif yang imajiner lalu dituang dalam bentuk cerita atau kisah. Inilah kesuksesan seorang cerpenis dibanding seorang da’i. Cerpenis memberikan dakwah kepada pembaca secara tekstual atau bisa jadi secara intertekstual yaitu melalui cerpen. Sedangkan seorang da’i mempunyai ruang gerak bebas ketika mengembangkan kemampuannya dengan cara berdakwah di depan umum atau melalui media elektronik. Menjadi cerpenis, tidak semudah dengan berkhayal. Bisa jadi seseorang bertujuan menulis cerpen dengan imajinasinya untuk mengembangkan kemampuannya dengan cara menulis cerpen sosial, budaya, religi, teenlit, dan sebagainya. Imajinasi adalah sebuah kemerdekaan, dimiliki setiap orang, dengan atau tanpa realisasi…(Sanie B. Kuncoro, 2010:4). Cerpenis juga manusia, butuh penghidupan untuk dirinya. Melalui menulis cerpen barangkali cerpenis mempunyai target akan hidup dengan kreativitasnya tersebut.

Cerpenis materialis merupakan orang yang tidak pernah ketinggalan informasi, baik maraknya media maupun isu-isu publik. Selain membaca berbagai informasi tentunya cerpenis materialis tahu selera setiap media dari Sabang hingga Merauke. Biasanya selera media dilihat dari penjaga gawang rubrik “Cerpen” tersebut atau dapat dilihat dari kaya cerpen yang dimuat di edisi sebelumnya. Kalau boleh saya kategorikan, sesuai pengamatan dan hasil pengamatan cerpenis yang lain, seperti Kompas memuat cerpen bergenre dewasa, sosial, dan berbau kritik; Republika memuat cerpen religi atau islami;  Jawa Pos memuat cerpen bebas, diutamakan isu-isu terbaru. Tidak salah jika cerpenis yang satu ini tidak ketinggalan informasi dan sangat memperhatikan kebutuhan pasar atau publik.

Bagi cerpenis materialis imbalan finansial merupakan tujuan utama. Terlebih dahulu sebelum ia mengirimkan karya cerpennya ia harus menge-list media-media yang mampu membayar penulis. Misalkan media yang mampu membayar penulis sesuai target waktunya adalah Kompas, Jawa Pos, Nova, Femina, Radar Surabaya, Suara Merdeka lain-lain.

Sisi lain cerpenis materialis ingin ketenaran dirinya di kancah kesusastraan. Popularitas adalah harga dari sebuah perjuangan menulis cerpen.  Terkadang kualitas karya cerpen tidak lebih penting daripada produktivitas. Bahkan, produktivitas merupakan hal yang sangat urgen.

Kecenderungan Cerpenis Masa Kini

Idealisme cerpenis dapat dibilang sudah tidak zaman lagi untuk dihitung saat ini. Menulis cerpen bukan hal mudah dan juga bukanlah kegiatan yang tidak mempunyai modal sejarah yang panjang. Sementara jika dibilang untuk mendapatkan cerpen yang kualitasnya terjamin setidaknya bagi kalangan cerpenis itu adalah kerja proses yang melelahkan.

Kembali pada ungkapan Helvy Tiana Rosa dalam bukunya Segenggam Genggam (Syaamil, 2003) bahwa tujuan menulis adalah “menambah penghasilan”. Seorang cepenis pada dasarnya adalah manusia yang butuh makan dan minum. Dari itu menulis cerpen bukanlah pekerjaan totalitas yang tidak mengharapkan materi. Kalau dilihat dari kaca mata mayoritas cerpenis masa kini, ketika mengirimkan karyanya terlebih dahulu membaca media yang mampu mengapresiasi penulis.

Saat ini, banyak media yang kurang mengapresiasi cerpenis yang akhirnya berbagai macam lomba pun diadakan dalam rangka kompetisi antar daerah. Dan biasanya, bagi cerpenis saat ini yang menjadi sorotan adalah hadiah dari lomba tersebut. Atau paling tidak cerpenis akan melihat instansi yang menyelenggarakan, dengan cara inilah ketenaran seorang cerpenis akan mencuat dan mendapat apresiasi banyak dari kalangan sastrawan, kritikus atau budayawan. Bahkan yang memiriskan bagi cerpenis masa kini adalah banyak media yang tidak menyediakan rubrik sastra khususnya cerpen, misalkan Media Indonesia dan Bernas Jogja. Untung saja jika Pikiran Rakyat sejauh pengamatan saya masih menyediakan rubrik cerpen dan puisi walaupun setengah bulan sekali alias satu bulan dua kali.

Cerpenis yang mengharapkan imbalan ketika mempublikasikan cerpennya bukanlah perkara yang salah. Dengan cara menuntut pun ketika media yang bersangkutan tidak memenuhi janjinya hal itu merupakan hak dari seorang cerpenis.

Menulis Adalah Bekerja Untuk Keabadian

“Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, itulah ungkapan Pramoedya Ananta Toer. Sama posisinya ketika dihadapkan dengan seorang cerpenis apakah dengan cara menulis cerpen merupakan pekerjaan untuk keabadian? Leo Tolstoy merupakan sastrawan Rusia terbesar yang berpengaruh luas dalam pembentukan perkembangan sastra dunia. Sebelum akhirnya mapan sebagai novelis ulung Rusia, ia dikenal sebagai penulis cerita pendek yang piawai. Leo Tolstoy hidup di abad ke 20, sejumlah ceritanya pun abadi, dibaca dari generasi ke generasi.

Seorang cerpenis sama halnya dengan Tuhan ketika menciptakan bumi dan seluruh makhluk di dalamnya. Tuhan menciptakan langit dan bumi, daratan dan lautan, manusia dan hewan merupakan penggambaran bahwa Ia berkuasa. Tuhan akan selalu abadi di dalam diri makhluk-makhluknya karena Ia yang telah menciptakan dan menghidupkannya. Walaupun sejatinya Tuhan manusia mempunyai sifat baqa’ yang artinya kekal. Demikian halnya dengan cerpenis (pengarang cerita pendek) karya yang dihasilkannya adalah penggambaran bahwa dirinya hidup di dalam cerpen tersebut. Dan nama seorang cerpenis akan abadi bersama karya cerpennya yang mampu berpengaruh pembaca di seluruh penjuru dunia.

Aku menulis maka aku ada…Dengan menulis aku hidup (Zainal Arifin Thaha, 2009:15). Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pramoedya Ananta Toer via Ach. Syaiful A’la, 2009:78). Pernyataan tersebut tidak hanya sebatas isapan jempol belaka. Banyak orang namanya sampai saat ini tidak hilang dalam sejarah, Kahlil Gibran misalnya, atau Imam Al-Ghazali yang membuat saya terus mempunyai spirit menulis dengan ungkapannya, “Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula keturunan darah biru, maka jadilah penulis.”

***

Penulis: Mawaidi D. Mas

You May Also Like