Gagang Pintu

bipolarid.com – Aku terlampau bosan menunggui gagang pintu yang sedari dulu hanya mengantarkan wajah-wajah iba ke hadapanku. Apalagi mereka datang hanya untuk berkhotbah, dan memintaku untuk selalu sabar serta menerima segala takdir yang telah tuhan tentukan. Sementara diri mereka sendiri suka mengeluh setiap kali mendapatkan cobaan.

Di dunia ini hampir tidak ada orang yang bisa aku percaya, sebab semua manusia sibuk menutup-nutupi kekurangannya dan mengagung-agungkan keberhasilan yang sebenarnya tidak seberapa, terutama istriku, aku begitu membencinya, mungkin ia merasa menjadi perempuan paling berbakti terhadap suami, padahal ia hanya mengantarkan makanan dan memaksaku minum obat setiap jam tertentu. Ia masih belum sadar bahwa dirinyalah penyebab pesakitanku, gara-gara kecantikannya semua orang memiliki sifat iri dan benci terhadapku. Sudah berapa kali aku bertengkar dengan laki-laki setiap mengajaknya keluar. Ia terlalu polos menyikapi keadaan, hampir semua laki-laki yang mengajaknya bicara, ia layani dengan senang hati, meski berulangkali aku jelaskan bahwa pada dasarnya laki-laki mendekati perempuan itu karena petunjuk birahinya, ia tetap saja tidak percaya. Bukan hanya itu, kebencianku makin bertambah karena ia terlalu sering mendatangkan dukun dan dokter ke kamarku. Padahal, dukun dan dokter itu sama bejatnya, mereka hanya mengendus-ngendus bak babi ngepet, mengerogoti semua harta milikku, dan lebih parah lagi mereka juga berniat mengambil istriku. Ketika aku memberitahukan kepada istriku prihal niat dokter dan dukun bejat itu, ia malah menuduhku salah berpikir, ia bilang aku terlampau pecemburu, padahal jelas-jelas dokter dan dukun itu lebih senang bersama dirinya daripada mengurus penyakitku. Andai aku tidak lumpuh, sudah tentu dari dulu ia kubunuh.

Aku akui, sebelum pernikahan, saat cinta begitu aku agung-agungkan, sedikitpun aku tidak bisa jauh darinya, bahkan tidak mendengar kabarnya dalam jangka hitungan jam, aku begitu tersiksa. Rahasia Tuhan memang tidak bisa diterka dengan logika, 10 tahun berlalu dengan jalinan pernikahan  tak sedikit pun aku temukan kebahagiaan yang selama ini menggandrungi keseharianku. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya menjadi sumber pesakitan yang mendera hidupku.

Awalnya aku tidak percaya bahwa perempuan cantik adalah sumber petaka. Meski Ibu sering kali bercerita bahwa Bhuju’ So’on yang dikeramatkan oleh orang-orang di kampungku, telah mengutuk anak keturunannya agar tidak terlahir sebagai perempuan cantik. Kutukan itu  ia lontarkan setelah terjadi pertumpahan darah pada tahun 1960 antara kampungku dengan kampung Tebanah yang tergolong tetangga, dan pemicu utamanya adalah perebutan perempuan cantik. Menurut cerita orang- orang Tebanah yang tidak terima atas penolakan orang di kampungku perihal perjodohan Ahmad, pemuda Tebanah dengan Maryam, perempuan tercantik di kampungku, membuat kesepakatan untuk melakukan carok besar-besaran karena penolakan itu dinilai menjatuhkan nama baik desa dan derajat laki-laki.

Be Bungur, sebuah tempat yang jauh dari perkampungan yang terletak di desaku dipilih sebagai tempat pertemuan carok besar-besaran. Ketika itu matahari mulai menanjak ke pucuk pohonan, orang-orang yang biasanya mempersiapkan cangkul dan sambit untuk melakukan aktivitas bertani atau bercocok tanam, beralih membawa sebilah celurit, pisau, tombak ,dan pentungan untuk melakukan carok akbar. Hampir semua orang, laki dan perempuan ikut dalam carok tersebut. Sampai senja tenggelam lengking dan teriakan orang mengeluh kesakitan masih terdengar di telinga. Kali yang berada di Be Bungur sudah tidak mengalirkan air lagi, darah telah menyulam warna air menjadi merah padam. Pada saat percarokan berlangsung tidak satu pun orang berani mendekati Be Bungur sebab semuanya menjadi gelap mata, tidak peduli teman atau lawan, semua orang yang melintas akan disabetnya hingga tak bernyawa.

Ibuku seringkali mengulang cerita ini saat aku mulai beranjak dewasa, namun aku tidak percaya bahwa kecantikan menjadi lahan subur pertengkaran. Namun perihal kutukan Bhuju’ itu, aku akui ada benarnya, sebab sampai saat ini kampungku masih didera krisis perempuan cantik.

***

rosalita

Entah rahasia apa yang hendak Tuhan sampaikan padaku, hingga aku ditakdirkan menjalani hidup dengan Rosalita, gadis cantik berdarah kota. Iya, barangkali bukan Tuhan jika tidak mampu melakukan yang tidak mungkin di dunia ini. Pertemuanku dengan Rosalita memang terbilang konsep Tuhan yang amat matang. Kami bertemu pada malam pesta kembang api di penghujung tahun, aku yang sedang asyik menikmati kerlap-kerlip percikan api di pemukaan langit bersama Nurjannah, kekasihku. Tercengang kaget ketika melihat sosok perempuan berbaju putih dengan rambut hitam lurus terurai, menangis di gang yang berada antara gedung pasar dan tembok rumah besar di pusat kota. Aku yang digadrungi rasa penasaran berpamitan pada Nurjannah untuk memastikan orang yang meringkuh dengan tangis tersedu-sedu di gang yang jauh dari keramain itu, sebangsa jin atau manusia.

Saat aku tiba di sampingnya, sendu tangis masih belum bisa ia tahan. Aku yang amat penasaran menyapanya lebih dulu.

“Maaf, anda siapa, kenapa anda menangis di sini?”

Sambil menyeka airmata di kelopak pipinya, perlahan ia menoleh ke arahku. Aku menjadi gugup seketika dan hampir tidak percaya dengan pengelihatanku. Ia begitu cantik, bibirnya merah mawar, kulitnya kuning langsat, matanya bulat dan tajam, kedua lesung pipinya mengguratkan kecantikan yang sempurna. Dan ia adalah perempuan tercantik yang pernah aku temui.

“Anda siapa?” suaranya lembut, membuatku makin tercengang. Terjadi pandang-memandang yang cukup lama. Dari sinilah Tuhan menunjukkan kekuasaannya dalam menumbuhkan rasa, hingga terjadilah perbincangan yang lama antara aku dengan perempuan yang masih terbilang misterius, perbincangan kami serupa berbincangan seorang sahabat yang lama tidak bertemu. Tanpa rasa canggung ia ceritakan perihal yang menimpa dirinya, rupa-rupanya ia adalah korban perselingkuhan, kekasih yang dicintainya pergi bersama perempuan lain. Percapakan pun semakin akrab saat kami saling menyebutkan nama. Ia memintaku memanggilnya dengan nama Rosalita, yang ia penggal dari dari namanya yang cukup panjang. Rosalita Purnama Sari,  begitulah nama lengkapnya.

Keakraban kami terus berlanjut, hingga Nurjannah yang dulunya menjadi teman keseharianku menjelma perempuan yang amat kubenci sebab  aku merasa, ia akan menjadi pengganggu kedekatanku dengan Rosalita. Apalagi setiap hari Nurjannah terus merenge’-renge’ minta dianterin jalan-jalan. Bagiku, sudah tidak ada keindahan yang dapat meneduhkan hati dan perasaanku, selain mendengar suara Rosalita, gadis cantik yang membuatku setengah gila. Demi kelancaranku meraih hati Rosalita, Nurjannah aku putuskan tanpa penjelasan apapun.

Cinta seringkali membuat orang merasa cukup dewasa untuk memulai hidup berkeluarga. Saat aku tawarkan pernikahann terhadap Rosalita, ia menyambutnya dengan hati bahagia, sementara aku yang dimabuk cinta merasa menemukan surga yang sesungguhnya. Aku amat yakin, Rosalita adalah sumber kebahagiaanku, apalagi ia perempuan tercantik yang pernah aku temui, terutamaa di kampungku. Bukankah, kecantikan dan keseksian tubuh perempuan adalah mata pencarian laki-laki? Aku bahagia karena aku telah mendapatkannya.

***

 

Di dunia ini memang tidak ada yang bisa aku percaya, bahkan aku sudah tidak percaya terhadap angan-anganku. Roslita Purnama Sari yang selama ini aku gambarkan sebagai sumber kebahagiaan menjelma sumber penderitaan dan penyiksaan yang tiada henti. Pesta pernikahan baru berjalan, aku sudah dicemaskan dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan. Saat aku beranjak ke pelaminan, aku dicemaskan dengan sorot mata yang hendak menelanjangi dirinya, hampir semua laki-laki yang datang memandangnya dengan tajam dan senyum pengharapan. Rasanya aku ingin segera membubarkan pesta dan mengajaknya ke kamar agar tidak satu pun yang menikmati kecantikannya selain aku. Dan yang paling aku takutkan ketika harus keluar rumah bersama dirinya, sudah barang tentu, semua laki-laki akan terbelalak, dan melebarkan kelopak matanya agar bisa melanjutkan fantasi dalam menjamah tubuhnya yang seksi. Aku begitu yakin kalau semua orang mengharap aku segera mati agar bisa mengambilnya dariku.

Sampai kapan pun aku tidak terima, jika aku dibilang terlalu pecemburu, sebab apa yang aku takutkan telah menjadi kenyataan. Pesakitan yang melumpuhkan kedua kakikku dan matinya organ kelelakianku adalah bukti bahwa orang-orang diluar sana telah menyiapkan pesta atas kematianku.

Kali ini, setelah 10 tahun hidup dengan menunggui gagang pintu, aku benar-benar percaya bahwa kecantikan dapat mendatangkan petaka besar. Aku bukan hendak menghasut siapa pun, aku hanya ingin bercerita pesakitan yang menyergapku hingga tak berdaya.

***

Dalam ruang berukuran 3×3 per segi, 10 tahun aku melalui hari-hari dengan memandangi gagang pintu, berharap tamu agung utusan Tuhan datang menjemput nyawaku. Aku sudah bosan mendengar suara istriku yang menyebalkan dan mengganggapku manusia paling keliru berpikir. Aku memang tidak bisa memastikan siapa yang menyihirku hingga aku menjadi lumpuh dan hampir separuh badan tidak bisa digerakkan. Tapi, aku yakin orang yang menyihirku adalah orang yang suka terhadap isteriku, dan berniat mengambilnya dari kehidupanku. Lagi pula siapa yang tidak tergoda dengan istriku, perempuan yang terlahir dengan lekuk tubuh sempurna: bibir merah mawar,  leher jenjang, jika berjalan rambut hitam lurus terurai, tutur bahasanya lembut bagai semilir angin di malam. Aku saja yang sudah bertahun-tahun bersamanya senantiasa tercenggang oleh kecantikannya. Ingin rasanya aku menyekapnya dalam kamar dan menikmati setiap lekuk tubuh yang senantiasa menggairahkan itu sampai mengkerut semua lapisan kulitnya yang mulus bak kulit bambu. Namun kelumpuhan membuatku hanya bisa berangan-angan.

Cahaya matahari menerobos lewat fentilasi kamar, membentuk lingkaran kecil di atas kepalaku yang bersandar ke tembok kamar. Dari lingkaran kecil itu, aku menghafal gerak jam, ketika cahaya itu menerpa mukaku ketika bersandar, maka jarum menunjuk angka delapan pas, naumn ketika berjarak sejengkal, itu tandanya jam delapan lewat 10 menit. Dan biasanya pada jam 8 pagi, isteriku sudah datang dengan membawa sepiring bubur, namun sampai saat ini ia belum datang. Hatiku gusar campur bahagia. Aku lebih suka dia tidak menjengukku daripada datang dengan bualan yang membuat perutku mual. Tapi, aku punya keyakinan, hari ini ia akan datang dengan wajah manis dan merayuku agar bisa membawa kekasihnya ke sini, dengan alasan klasik, yaitu membawa dukun baru yang lebih sakti dari sebelum-sebelumnya atau kalau tidak,  dokter spesialis dari luar kota,yang punya pengalaman menangani bermacam penyakit.

Gagang pintu kamarku masih tercengang seolah ia mengintai pembicaraanku. Sementara sepi makin menyergapku dari berbagai arah. Aku jadi teringat carok yang menjatuhkan puluhan orang di kampungku. Perempuan cantik memang membawa petaka, dan kali ini aku benar-benar mengalaminya. Rasanya aku ingin segera bertemu dengan Bhuju’ so’on. Aku ingin ia menyumpahi seluruh isi dunia ini agar tidak melahirkan perempuan cantik, dan cukuplah aku yang merasakan penyiksaan dari kecantikan perempuan di dunia ini.

“Oh Nurjannah, betapa dosa aku padamu. Aku menyesal telah meninggalkanmu, menyia-nyiakan cintamu”

Airmata merembes, membanjiri kelopak mata yang mulai mencekung. Wajah Nurjannah datang menguasahi ingatanku. Hari ini, aku hanya bisa meratapi kesalahku di masa silam.

Pada saat itu aku meninggalkan Nurjannah karena ia tidak terlihat cantik di mataku, 1 banding 4 dari kecantikan Rosalita, istriku. Betapa bodohnya aku, yang senantiasa percaya pada gerak nafsu.

Dari arah pintu,  istriku datang dengan menggunakan baju merah dan rok panjang, rambutnya basah tergerai. Cepat-cepat aku menyeka air mata yang muenggenang di kelopak maata yang mulai cekung. Ingin rasaya aku melemparnya keluar dan menjauhkannya dari keseharianku, namun sisi lain aku begitu membutuhkannya.

“Maaf mas, aku baru selesai nyuci” Ia tersenyum, dan melanjutkan langkah kakinya ke arah pembaringanku. Bagai seorang Ibu yang mau merawat anaknya yang sedang sakit. Ia menyentuh keningku dan memperbaiki bantal yang menopang bahuku dari belakang.

“Mas jangan sedih terus. Besok aku akan ke pergi ke pulau Ghilih, katanya di sana ada dukun yang sudah biasa mengobati penyakit yang serupa dengan yang Mas alami. Sekarang Mas makan yang banyak, setelah itu minum obat.”

Bujuk rayu kembali ia lontarkan padaku. Sedangkan tangannya sibuk menakar bubur untuk dimasukkan ke mulutku, barangkali sendok makan itu terlalu besar untuk takaran mulutku.

“Sudah berapa kali, kalimat ini kamu katakan padaku, dan sudah berapa dukun yang kau datangkan ke sini. lalu apa hasilnya?” jawabku dengan nada kekesal. Kebencian membuat satu sendok bubur terlalu banyak untuk mengisi perutku. Aku memalingkan wajahku dari ujung sendok yang ia sodorkan ke mulutku. Tidak ada ucapan kesal keluar dari mulutnya, ia malah makin membujuk.

“Mas, kamu tidak boleh berputus asa. Yakinlah, bahwa esok Mas akan lebih baik dari sekarang”

Aku tidak tahu apa yang ada dalam benak istriku. Berulangkali aku mengumpatnya dengan nada kasar namun tidak sedikitpun ia tampakkan amarahnya padaku.

“Asal kamu tahu, aku begini karena kamu, karena kecantikanmu. Dukun dan dokter yang kau datangkan ke sini, itu bukan semerta-merta mau mengobatiku. Tapi, ia datang hanya mau menikmati kecantikanmu. Sekarang jujurlah, 10 tahun kau bersamaku. Sekalipun aku belum pernah menyentuhmu. Lalu apa yang membuatmu betahan! Jangan-jangan kau telah main kucing-kucingan dengan dukun atau dokter yang kerap kali datang ke sini?”

Amarahku makin memuncak, aku tarik nafas agar dapat memuntahkan semua emosiku

“Aku jadi mengerti, kenapa para dukun dan dokter itu lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tamu dari pada di kamarku. Mungkin mereka telah menemukan yang ia cari-cari sebagai pemuas birahi. Lagi pula apa yang mereka ketahui darimu soal penyakitku. Bukankah aku yang lebih tahu daripada kamu, sebab aku yang mengalaminya lansung!. Jangan-jangan kamu sudah merencanakan kematianku agar bisa bebas dan bermanja-manja dengan laki-laki lain!”

Aku merasa dadaku tidak sesak lagi. Rasa-rasanya gumpalan batu yang mengendap dalam tubuhku telah berhasil aku keluarkan. Aku ingin bersorak meryakan keberhasilanku dalam membuang semua beban di kepalaku. Sementara istriku menunduk lesu, airmata mengalir deras hingga membasahi lengan bajuku. Sendu tangisnya makin keras. Namun tak sepatah katapun ia keluarkan sebagai bantahan atas segala tuduhanku.

Aku melihat ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sejenak, disertai cucuran air mata yang tak dapat ia tahan. Bersama sendu tangis yang menjadi-jadi ia berlari menuju pintu kamar, dengan tergesa-gesa ia menarik gangang pintu yang senantiasa aku pandangi, dan menganyukan kembali dengan kencang. Pintu tertutup, tubuh cantiknya menghilang bersama gema yang meruntuhkan kekuatanku. Aku merasa gema suara pintu itu menjelma gong kematian, dengan nafas tersengal-sengal, aku mencoba memasang pendengaran dengan tajam, suara hentakan kakinya yang terus berlari tak dapat aku kejar. Aku kembali mempertajam pendengaranku, namun hanya detak jantung yang perlahan melemah dan hembusan nafas yang tersedat menguasai pendengaranku. Saat aku mencoba mengatur nafasku, terdengar suara klakson sepeda motor tepat di hapan rumahku. Ingin rasanya aku tidak menangis, namun kecantikan istriku dan sifatnya yang penurut membuat hatiku tersiksa.

Aku coba tersenyum, dan melanjutkan pradugaku. Barangkali istriku telah pergi dengan Rahmat, Anto, Jukri, Ruslan, Saprawi, Budi, Toto, dan masih banyak daftar nama laki-laki yang ada di kepalaku, mereka semua adalah salah satu dukun atau dokter yang mengobatiku.  Atau mungkin istriku tidak pergi bersama mereka, melainkan dengan laki-laki yang bersebelahan dengan rumahku.

Ah, cinta dan kebencian hanya terhalang selaput tipis yang bernama kepercayaan. Rosalita Purnama Sari, semoga hidupmu lebih bahagia lagi. Gagang pintu yang selalu bisu, semoga kali ini kau terbuka untuk kematianku. ***

 

Sumber Nangah, 27 Mei 2013
Moh. Kholil Al-Farisy. Pecinta seni. Puisi-puisinya terkumpul dalam Antologi bersama Kidung Sunyi, dan Anting Bulan Merah. Pernah aktif di bergai komuitas seni, seperti Masyarakat lumpur, Bangkalan Membaca, UKM Air Mata, UKM Canting Teater,Pagar Seni Bangkalan. Dan Sekarang tinggal di Kampung Halamannya, di desa Tlagah, Banyuates, Sampang. Seklaigus mejdai Guru SMK  di Pondok Pesantren Nurul Yaqin, Sumber Kenangah.

You May Also Like